Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila. Polemik terhadap RUU HIP menimbulkan sebuah gejolak dan keresahan yang ada di masyarakat. Bahkan pada Rabu (24/06/2020) beberapa kelompok ormas melakukan aksi demontrasi menolak RUU ini dan meminta DPR RI mencabut RUU ini dari prolegnas yang selanjutnya diikuti aksi serupa di beberapa daerah.
Beberapa kelompok menilai dalam RUU HIP perasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara,selain itu RUU HIP dianggap dapat membuka celah bangkitnya Komunisme di Indonesia.
Tapi, apakah benar RUU HIP merupakan sebuah pengkhianatan dan dapat membuka celah bangkitnya komunisme di Indonesia?
Dalam mengidentifikasi sebuah masalah tentunya kita harus tahu terlebih dulu suatu masalah yang ada ditengah masyarakat terlebih dahulu. Dalam RUU HIP polemik yang timbul di masyarakat bermula pada pasal 7 draft RUU HIP yang terdiri dari 3 ayat dan berbunyi:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam kesatuan;
(2) Ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong royong.
Kalau kita telaah lebih lanjut tentu ayat tersebut akan mengingatkan kita terhadap pidato Bung Karno didepan sidang BPUPKI, pada 1 Juni 1945. Yang akhirnya kita kenal tanggal tersebut sebagai hari lahirnya Pancasila.
Mungkin seandainya Bung Karno masih hidup ia pasti tidak habis pikir bahwa gagasan pemikirannya tentang Pancasila, Trisila dan Ekasila dapat menjadi polemik bagi bangsanya sendiri.
Oke, mari kita bahas Trisila terlebih dahulu. Dalam pidato 1 Juni didepan anggota sidang BPUPKI, Bung Karno menawarkan konsep Pancasila. Namun, apabila para anggota sidang BPUPKI tidak setuju dengan konsep lima sila tersebut Bung Karno pun menawarkan konsep Trisila yang merupakan perasan dari Pancasila. Trisila sendiri terdiri dari Sosio-Nasionalisme yang merupakan perasan dari sila kebangsaan dan kemanusiaan, Sosio-Demokrasi yang merupakan perasan dari sila kerakyatan dan keadilan sosial, dan tentunya sila terakhir tentang ketuhanan. Tapi, apakah kata sosio dalam pemikiran Bung Karno tentang nasionalisme dan demokrasi merujuk pada sosialisme atau pun komunisme? Tentu saja tidak.
Pertama kita pahami dulu apa itu Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Sosio-Nasionalisme Soekarno mendefinisikan kata sosio sebagai masyarakat. Karena itu, Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi yang ia maksud menjadi nasionalisme masyarakat dan demokrasi masyarakat.
Lalu, apa makna masyarakat di sini? Masyarakat di sini diartikan Bung Karno sebagai kondisi nyata di masyarakat yang dalam konteks Indonesia era kolonial merujuk pada penindasan, kemelaratan, dan ketimpangan. Inilah arti dari ucapan Bung Karno bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme melamun, nasionalisme kemenyan, sebuah corak nasionalisme yang melamunkan kemerdekaan sebagai cita-cita ideal.
Bukan nasionalisme yang membasiskan diri pada harapan rakyat untuk bisa merdeka, bisa makan dengan kenyang dan hidup dengan layak. Dengan demikian, sosio-nasionalisme merupakan nasionalisme yang mendasarkan diri pada kesadaran akan ketertindasan masyarakat. Demikian pula demokrasi, bagi Bung Karno, demokrasi tidak boleh hanya memenuhi hak-hak politik. Ia harus mampu memenuhi hak-hak ekonomi rakyat. Pertanyaannya, apakah ide seperti itu berbahaya? Bukankah ujung dari Pancasila ialah keadilan sosial? Artinya, ide Bung Karno ini memang sesuatu dengan nature Pancasila.