Lihat ke Halaman Asli

Hiperkoneksi, Keberlimpahan dan Ekonomi Gratis

Diperbarui: 4 Januari 2016   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Ketika melakukan perjalanan menuju ke salah satu kota baik domestik maupun manca negara dan membutuhkan informasi tentang hotel, penginapan, pusat kuliner, lokasi wisata dan sebagainya, tidak perlu repot-repot membuka Yellow Pages atau menelepon call center untuk mencari informasi tersebut. Cukup update status di sosial media seperti Facebook dan Twitter atau broadcast message di grup BBM, What'sApp, Line, Telegram atau lainnya. Tunggu beberapa saat kemudian, puluhan bahkan ratusan orang secara instan dan sukarela akan menyampaikan semua informasi yang diperlukan. Metode lain yang dapat digunakan adalah setelah tiba di kota tujuan, buka aplikasi Google Maps, ketik nama hotel atau lokasi yang ingin dituju kemudian klik tombol search. Dalam sekejap Google Maps akan membukakan peta digital tempat dimaksud beserta rute jalan yang tersedia, jarak antara tujuan dan lokasi dimana saat ini berada dan perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi tujuan.

Beruntunglah umat manusia karena memiliki teknologi Web 2.0 (website generasi kedua) yang memungkinkan sebagian besar aktifitas di dunia nyata (offline) dapat dimigrasikan ke ekosistem maya (online) dengan keamanan dan kenyamanan yang makin baik serta harga yang terjangkau. Dalam industri telekomunikasi, terdapat 3 unsur utama yang menyokong sehingga layanan tersebut dapat terselenggara, yakni : Device, Network dan Application atau disingkat DNA. Device adalah semua jenis perangkat elektronik pintar yang dapat digunakan oleh konsumen dan penyedia jasa untuk mengakses internet seperti PDA / Gadget, Smartphones,  netbook, laptop maupun PC. Sedangkan jaringan (network) merupakan elemen yang menghubungkan antara device dengan keseluruhan mesin (server) sistem internet. Jaringan tersebut bisa berupa kabel fisik (fiber optik atau tembaga) maupun nirkabel (wireless). Komponen ketiga adalah application, bentuknya berupa piranti lunak (software) yang berfungsi untuk menjalankan device dan network.

"We Are Social" mencatat bahwa di awal tahun 2015 terdapat 3 miliar manusia yang menggunakan internet dan 2,1 miliar diantaranya memiliki akun media sosial aktif. Dari jumlah akun tersebut, terdapat 1,7 miliar yang mengakses akunnya dari perangkat bergerak (mobile), sehingga memungkinkan mereka tersambung non stop selama 24 jam. Mengacu pada data populasi online dimaksud, maka tidak mengherankan jika member portal sosial media melonjak fantastis. Jumlah pengguna Facebook dilaporkan sebanyak 1,55 miliar, sedangkan Twitter memiliki 316 juta member, sementara Youtube mempunyai member sekitar 1 miliar. Jumlah akun (dalam satuan juta) terdaftar pada jejaring sosial yang lain seperti Whats'App, QQ, WeChat, Instagram, Skype, Line dan BBM masing-masing secara berurutan adalah 900, 860, 650, 400, 300, 211 dan 100 (sumber data : statista.com). Web Statista.com pada bulan November 2015 melansir data 20 portal sosial media dengan total akun terdaftar sebesar 8,233 miliar, namun ada sejumlah portal sejenis yang belum dicantumkan seperti Google+, Path, Telegram, Myspace, Kaskus dan lainnya. Google+ sendiri diestimasi dihuni oleh 300 juta akun, sehingga bila akun seluruh sosial media diakumulasi, maka totalnya tidak akan kurang dari angka 9 miliar. Nominal tersebut telah melampaui jumlah populasi penduduk bumi yang mencapai angka 7,21 miliar. Berdasarkan fakta ini, dapat disebutkan bahwa rata-rata user internet memiliki 3 akun media sosial. Interaksi antara kecepatan penetrasi internet, maraknya akun sosial media dan besarnya volume device yang terkoneksi dengan jaringan internet menciptakan ekosistem masyarakat global yang serba terhubung atau biasa disebut "hyperconnected society".

Hiperkoneksi vs Transparansi

Jaringan dan ekosistem internet yang menghubungkan sekitar 8 miliar device, 9 miliar akun sosial media dan lebih dari 3 miliar manusia mengalirkan puluhan hingga ratusan miliar informasi setiap harinya. Seluruh informasi tersebut dapat diakses dengan mudah, murah dan cepat oleh seluruh penghuni dunia maya, sehingga nyaris tidak ada lagi ruangan dan tempat yang luput dari pantuan. Kegiatan intelijen yang selama ratusan tahun beroperasi secara tertutup dan senyap belakangan mulai terkuak oleh aksi warga sipil. Ulah Snowden yang membocorkan aktifitas penyadapan percakapan sejumlah pejabat Indonesia oleh agen Australia membuat hubungan kedua negara memanas hingga beberapa waktu. Ini membuktikan bahwa hiperkoneksi global melalui internet melahirkan gelombang transparansi dalam berbagai bidang. Dalam sektor hukum seperti kasus Cicak-Buaya yang menempatkan 2 wakil Ketua KPK sebagai tersangka, faktor transparansi publik melalui jejaring sosial mengambil peran yang sangat besar. Gerakan 1 juta Facebookers dukungan untuk Bibit-Candra mengalir deras tak terbendung dan memaksa Presiden SBY kala itu melibatkan diri untuk menengahi dan menyelesaikan masalah tersebut.

Sebagai warga netizen (masyarakat maya internet), transparansi merupakan kekuatan baru yang mempunyai daya dombrak tak terbendung. Hal sejenis ini sangat sulit diperoleh pada masyarakat citizen yang basisnya offline, isu dan masalah sosial sangat mudah ditutup-tutupi dan dibelokkan oleh banyak kepentingan. Sesuai kondisi tersebut, tentu sangat benar jika Theo Priestley (Chief Evangelist di Software AG) menyebut bahwa transparansi adalah mata uang yang baru. Dengan transparansi, maka skandal-skandal politik, hukum, ekonomi (misalnya kasus Papa Minta Saham), sosial, layanan publik dan sebagainya sangat mudah diungkap diruang-ruang publik dan memaksa semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menyelesaikannya dengan segera secara proporsional.

 

Hiperkoneksi vs Keberlimpahan

Tahun 2009 lalu, Prita Mulyasari dijatuhi sanksi perdata oleh Pengadilan Tinggi Banten dan diharuskan membayar denda sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni International. Atas sanksi tersebut, ratusan relawan bergerak tanpa dikomando menggalang program "koin untuk Prita" baik melalui posko (offline) maupun online di jejaring sosial. Dari gerakan itu, akhirnya terkumpul dana sebanyak Rp 825,7 juta. Keberhasilan kegiatan ini tentu karena kepedulian dan keterlibatan puluhan ribu netizen melalui sejumlah jejaring sosial. Liputan media massa, riuhnya ciutan di Twitter dan sharing status serta komentar di Facebook membetot perhatian dan emosi publik dan membangkitkan kesadaran untuk mengulurkan bantuan. Meskipun bantuan citizen dan netizen relatif kecil (uang koin recehan), tetapi karena dilakukan secara masif oleh ratusan ribu orang, maka dampaknya luar biasa besar.

Kegiatan pilantrofi seperti digambarkan di atas dalam jagat maya internet biasa disebut sebagai crowdfunding. Istilah umumnya adalah crowdsourcing, yakni sekelompok netizen mengerjakan sesuatu  secara kolektif dan kolaboratif (identik dengan ekonomi gotong royong di Indonesia) dengan sukarela, tanpa ikatan formal dan imbal jasa keuangan. Chris Anderson (penulis buku populer : "The Long Tail") memimpin sebuah komunitas internasional yang Ia beri nama "DIY Drones Community" untuk menciptakan drone yang mengadopsi 98% kapabilitas drone militer Amerika Serikat. Komunitas ini beranggotakan lebih dari 55.000 orang fanatik dari berbagai negara dan mampu membuat drone dengan harga hanya $300 per unitnya, bandingkan dengan harga drone militer AS yang biayanya mencapai $4 miliar. Kok bisa? Tentu saja bisa karena proyek open source seperti itu tidak memerlukan lisensi / patent, biaya riset yang mahal, gaji karyawan, sewa gedung, pengembalian modal dan keuntungan untuk investor.

Michael Brenner (VP of Marketing and Content Strategy SAP) menyebut bahwa dalam era yang serba connected, setiap orang menjadi penerbit (publisher) content baik bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain, situasi ini disebut sebagai user generated content (UGC). SAP melaporkan bahwa perusahaan-perusahan yang menjadi pelanggannya di seluruh dunia mengirimkan 1,8 miliar lalu lintas pesan per hari. Sementara sosial media seperti Facebook menghasilkan 4,5 miliar like/hari, Twitter 500 juta twit/hari, Youtube 4 miliar view video/hari dan Instagram 70 juta foto-video/hari. Jika seluruh trafik pesan teks, foto dan video yang mengalir diinternet diakumulasi setiap hari, minggu, bulan dan tahun sudah tentu jumlahnya sangat-sangat besar dan mencengangkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline