Lihat ke Halaman Asli

Politik Kini: Diskursus Nir-makna.

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1395720095416038831

[caption id="attachment_328363" align="alignleft" width="660" caption="Foto: kamoeindonesia.org"]
[/caption]

Politik merupakan diskursus yang melibatkan pelbagai entita: ide, agen atau aktor (pelaku), serta institusi (hukum) maupun kebiasaan-kebiasaan yang telah melembaga atau dilembagakan (budaya). Pertalian tiga faktor tersebut merupakan penggerak sekaligus substansi politik. Kealpaan maupun dominasi salah satu faktor dalam diskursus politik akan menyebabkan kelumpuhan substansi dalam politik serta kepincangan dalam kehidupan berpolitik (Negara). Politik tanpa kehadiran Ide menyebabkan prosesnya berubah menjadi transaksi. Jual beli suara dalam pemilu, misalnya. Pergulatan ide diberangus oleh nilai keekonomian suatu benda yang dalam bentuknya yang paling ekstrem dikenal dengan istilah serangan fajar. Politik tanpa aktor atau agen atau pelaku adalah komunikasi satu arah. Tanpa keterlibatan aktor, yang di dalamnya bersemayam ide-ide serta harapan, politik bermetamorfosis menjadi alat menggapai kekuasaan semata: tanpa ide, dan tanpa aktor yang sadar akan proses serta hak dan kewajiban politiknya masing-masing. Sedangkan Politik tanpa supremasi hukum, kita tahu, adalah monopoli kekuasaan. Jenis ini dapat dikatakan Oligarki, di mana segelintir orang atau kelompok memonopoli partisipasi atau akses serta perangkat pemerintahan demi menjaga kelangsungan kelompok maupun membentuk dinasti pemegang kekuasaan. Terlepas dari seperti apa ketiga faktor tersebut dijalankan atau dipersepsikan, akan membentuk suatu kebiasaan-kebiasaan yang terlembaga maupun dilembagakan (budaya). Dengan kata lain, budaya politik yang berfaedah terlebih dahulu harus memenuhi ketiga unsur yang paling awal disebutkan.

Hambatan.

Hari-hari ini, khususnya menjelang Pemilu, Calon Legislator (caleg) yang merupakan representasi dari suara partai kelak, alih-alih berpolitik (baca: meraih simpati) dengan mengedepankan pergulatan ide-ide, mereka bahkan pesimis dengan cara-cara demikian. Secara tidak langsung, caleg kita juga yang menyemai kebiasaan-kebiasaan politik transaksional yang, pada akhirnya, akan membentuk budaya transaksional dalam berpolitik bagi masyarakat. Kebiasaan demikian yang kini menjadi kebudayaan dalam berpolitik melumpuhkan proses sekaligus menciptakan politik tanpa substansi serta menjaga status quo politik demi kekuasaan. Lebih jauh, politik yang bersifat transaksional tersebut merupakan sublimasi yang tak disadari oleh agen atau aktor itu sendiri yang membentuk budaya transaksi menjadi kebiasaan umum yang dapat diterima dan, yang menakutkan, dianggap sesuai atau tidak bertentangan dengan norma politik maupun norma-norma lain yang tumbuh di masyarakat. Perilaku serta kesadaran yang membentuk kebudayaan transaksi demikian merupakan penghambat demokrasi. Demokrasi, demikian juga politik, membutuhkan kompetisi ide atau gagasan serta perdebatan yang merupakan nilai dari suatu tindakan politis. Semangat itu dimanifestasikan dalam bentuk konsep-konsep tentang kebaikan masyarakat, bukan janji serta upah politik.

Kampanye Media.

Sebagai pilar ke empat Demokrasi, kehadiran media diharapkan dapat menunjang proses politik yang tak kehilangan Ide serta dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat, baik dalam pembentukan opini, penyebaran informasi, serta secara khusus dapat turut meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014. Media sebagai ruang publik, sebagaimana dirumuskan Jurgen Habermas, merupakan unsur penting dalam kompetisi pergulatan gagasan politik. Sebab opini yang terbentuk ihwal politik, untuk meminjam kata-kata Habermas, sulit dipisahkan dari instrumen pembentuknya, yakni Pers. Tak dapat dimungkiri, pemberitaan yang belakangan ini didominasi ihwal korupsi yang dilakukan legislator hingga birokrat serta suap-menyuap yang dilakukan pengusaha demi mendapatkan proyek, ikut menggerus kepercayaan publik terhadap politik, baik sebagai proses dalam bernegara, maupun terhadap pelaku (politisi), serta menciptakan apatisme terhadap keduanya.

Titik balik.

Pemilu pada tanggal 9 April yang akan datang dapat menjadi titik balik dalam proses politik kita. Hal itu bergantung dari bagaimana kita memaknai perayaan demokrasi lima tahunan tersebut agar tidak saja menjadi politik transaksional. Peristiwa tersebut menjadi ujian bagi kedewasaan pemilih untuk tidak memilih caleg yang, dalam upaya menarik simpati pemilih, menjadikan peristiwa demokrasi tersebut sebagai transaksi semata; untuk mendapatkan dukungan dalam memenangkan jabatan atau kekuasaan, mula-mula mereka harus mengajukan konsep atau ide ihwal kebaikan masyarakat, bukan menjadikannya transaksi untuk meraup suara. Hal ini didefinisikan dengan baik oleh Weber dalam karyanya Sosiologi,bahwa seseorang hanya dapat dikatakan sebagai Politikus apabila ia terlibat atau melibatkan diri dalam problematika publik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline