'Ditunggu tunggu kok pada nggak nongol' tulis saya di WA pada seorang teman sambil mengunyah bakso. Saya baru saja pulang nyoblos, laper dan segera menggasak berbagai kudapan khas Indonesia yang saya beli di bazar pemilu KJRI.
'Ah males nyoblos, nanti disuruh tanda tangan surat pernyataan tidak berpaspor dua' jawab temen saya. 'Masa mau bohong bilang punya paspor cuma satu padahal punya dua, kita kan orang beragama tidak boleh bohong' lanjutnya.
'Tapi ngisi surat pernyataan itu kan optional' kilah saya.
'Tetep saja, kalau nyoblos tapi tidak tanda tangan surat pernyataan, kan bisa ditandain'. 'Siapa aja yang datang tadi, rame nggak ?'
'Lumayan rame, tapi cuma ketemu Desi dan Dina dari kelompok kita, Desi tanda tangan surat lho, padahal punya paspor dua, Dina punya paspor satu malah menolak dengan alasan melanggar privacy, jadi kalaupun nantinya ditandai sama KJRI, ya tidak akurat juga' cerita saya
'Iya tuh, aneh aneh aja KJRI' kata temen itu mengkhiri pesannya dengan emoji telapak tangan di dahi.
Polemik ini membuat saya kembali merenungkan esensi Bangsa, Warganegara dan hak kewajiban yang menyertainya.
Dari sejarah bisa dibaca bahwa kewarganegara dulunya terbentuk demi adanya aksi timbal balik antara pengakuan dan perlindungan oleh perorangan dan penguasa. Warga mengakui (tunduk) pada penguasa tertentu lengkap dengan membayar pajak atau upeti, Pengusasa kemudian melindungi dan mengatur kemudahan hidup para subjeknya yang tunduk dibawah kekuasaanya. Jadi secara sederhana Warganegara dengan definsi ini cukup masuk akal dan praktis.
Proses hubungan timbal balik ini apakah adil dan bijaksana atau tidak tergantung keberadaban manusia manusia yang menjalaninya. Di jaman Warring State misalnya ketundukan warga dilakukan dengan paksa; orang kuat membentuk perkumpulan, menyerbu serta menjajah wilayah tertentu, terjadilah kerajaan, daerah kedudukan dipaksa ini itu termasuk bayar pajak dengan balasan mereka dijaga dari serbuan 'kerajaan' lain. Di abad 2000 ini umumnya pengakuan dan perlindungan ini dilakukan dengan cara demokrasi dengan batas batas hukum.
Tapi kemudian setelah era kolonialisme, PD1, PD2 dan berbagai perjanjian/persetujuan yang dilakukan oleh berbagai kekuatan pada jaman itu (Eropa dan Amerika Utara) tercetuslah antara lain tiga klausul untuk menjadi Warganegara : karena darah (turunan), karena tempat lahir dan karena naturalisasi (pemutihan).