"Mau kerja pun harus bayar ADM yang cukup besar, lantas apa gunanya kami disekolahkan?"
Kalimat di atas hanya sepenggal keluh dari para pencari kerja yang masih berjuang di luar sana. Berdandan rapi, mengenakan kemeja putih dan celana hitam khas pelamar kerja serta harapan-harapan yang selalu dibisikkan dalam jiwa "mungkin hari ini" adalah rutinitas mereka di setiap pagi.
Menenteng amplop coklat berisi potocopy ijazah serta berkas-berkas lainnya yang dimodali ibu dan bapak. Itu pun dengan perasaan malu karena panggilan kerja tak kunjung jua menyapa.
Sudah tak terhitung lamaran kerja yang sudah dikirim baik secara online maupun hasil jalan-jalan sesama rekan seperjuangan. Keluar masuk pintu gerbang perusahaan, dan berkas lamaran kerja pun berakhir di post security.
Selanjutnya, mereka tak pernah tahu secara pasti apakah lamaran tersebut menjadi pertimbangan pihak HRD atau bahkan selama ini berkas lamaran kerja mereka tidak pernah benar-benar sampai di meja kerja HRD?
Persoalan tidak cukup disitu. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan semakin buyar ketika mereka dimintai biaya ADM yang cukup besar.
"Hal itu membuat kami bertanya-tanya, apakah ijazah yang katanya menjadi persyaratan melamar kerja tidak lebih penting dibanding uang? Kalau begitu adanya maka ijazah kami hanya setara dengan kertas pembungkus gorengan. Padahal kami sekolah pun tidak gratis. Mengapa kami mau cari uang malah dimintain uang?"
Miris sekali memang. Di tengah susah payahnya mencari pekerjaan malah ada orang-orang yang tega meraup keuntungan. Menghancurkan harapan demi harapan para pencari kerja yang benar-benar membutuhkan.
Dulu negara kita dijajah oleh bangsa asing, tapi sekarang kita dijajah oleh warga negara sendiri yang bisa dibilang lebih tidak punya hati nurani. Untuk para pemerintah tolong lihatlah! Bagaimanapun peraturan yang telah dibuat nyatanya masih banyak tindakan pungutan liar alias biaya Adm yang merajalela dimana-mana.
Mereka pun terpaksa membayar sejumlah uang yang diminta sebagai jalan terakhir ketika bayang-bayang seorang pengangguran semakin hari menjelma jadi sosok yang mengerikan.
Susahnya mencari pekerjaan juga pernah saya alami ketika lulus kuliah dengan menyandang gelar sarjana tiga tahun yang lalu. Bukan sebuah kebanggan melainkan beban ketika nyatanya predikat itu tidaklah cukup membuat perekrut tertarik.