Masalah kafir-mengkafirkan sudah sering terjadi di Indonesia sehingga beberapa orang tidak tersinggung lagi karena kelaziman tersebut, walaupun pada awalnya mungkin wajahnya merah juga ketika dikatai 'kafir'. Ada juga yang sebenarnya tersinggung, tetapi menyerahkannya kepada Tuhan karena menurut ajaran agama yang dipercayainya, orang yang memusuhi harus didoakan. Namun ada yang tidak pernah selesai tersinggungnya kalau disebut kafir.
Ada satu kesamaan antara ketiga golongan tersebut, ketiganya setidaknya pernah tidak suka disebut kafir. Ketiganya pernah merasa tidak adil disebut kafir.
Saya masih bisa pahami kalau reaksi seperti ini ditujukan kepada orang-orang seagama, atau orang-orang yang menyembah sosok ilahu yang sama (atau setidaknya memiliki konsep yang sama tentang apa atau siapa itu Tuhan) yang menyebut sesama umat seagamanya sebagai kafir. Misalnya ada orang Islam menyebut Islam lain kafir atau orang Kristen yang menyebut orang Kristen lain kafir hanya karena perbedaan pada ajaran dalam hal yang tidak esensial.
Namun saya sulit memaklumi kalau reaksi ketidaksenangan seperti itu ditujukan kepada orang yang berbeda agama yang menyebut orang lain kafir. Misalnya orang Islam menyebut orang Kristen atau orang-orang beragama lain sebagai kafir.
Kesulitan saya memahami diakibatkan kurang atau tidak logisnya reaksi tidak suka atau marah disebut kafir oleh orang lain yang tidak seagama. Kata logis yang saya gunakan lebih merujuk pada penalaran yang mengikuti kaidah-kaidah hukum-hukum logika, bukan kata yang diturunkan dari penggunaan lepas seperti 'logika hukum', 'logika politik', dll, karena kalau menggunakan makna lepas seperti itu, segala sesuatu bisa disebut wajar.
Apabila orang dari agama tertentu menyatakan orang beragama lain sebagai kafir, itu adalah hal yang wajar. Biasanya yang disebut kafir itu adalah orang yang tidak mempercayai ajaran esensial agama tertentu. Saya tidak mempercayai ajaran Islam yang esensial, atau menggunakan istilah filsafat yang katanya Aristotelian, yaitu ‘saya tidak memiliki properti esensial untuk disebut muslim’. Misalnya, saya tidak mempercayai sosok ilahi yang dipercayai dalam Islam. Buat saya itu bukan sosok ilahi. Sebaliknya sosok yang saya pandang sebagai ilahi, dipandang teman-teman muslim sebagai bukan ilahi. Karena itu, teman-teman muslim dapat dan harus menyebut saya kafir. Kalau dia tidak menyebut saya kafir, justeru mengindikasikan bahwa dia tidak konsisten mempercayai ajaran agamanya. Hal itu tentunya tidak diharapkan kalau konsistensi merupakan sebuah nilai yang pantas dianut dan diterapkan.
Saya tidak perlu sakit hati disebut kafir karena itu adalah ajaran agamanya (walaupun ada perdebatan di antara mereka tentang hal itu, saya harus menghargai berbagai pandangan dalam agama lain) dan di Indonesia kebebasan beragama dijamin. Kalau teman-teman muslim dilarang menyebut saya kafir, maka kebebasan beragama mereka tidak dihargai. Disebut kafir dari sudut pandang agama lain tidak menjadikan saya kafir dari sudut pandang agama yang saya anut. Jadi, disebut kafir oleh orang lain yang berbeda keyakinan tidak berpengaruh buruk secara psikologis ataupun secara kognitif pada saya karena kategori ‘kafir’ yang mereka gunakan tidak sepenuhnya masuk kategori kafir dalam ajaran agama yang saya percayai.
Namun demikian, isu kafir-mengkafirkan itu hanya akan menjadi bermasalah kalau status kekafiran saya dari sudut pandang agama orang lain menjadikan saya halal untuk diperlakukan tidak adil.
Status saya sebagai kafir dari sudut pandang agama tertentu memberikan hak kepada orang lain yang tidak kafir untuk tidak mengakui kemampuan saya, tidak mengakui kebebasan saya untuk menjadi kepala negara atau kepala pemerintah di daerah yang mayoritas memandang saya kafir.
Status saya sebagai kafir memberi lisensi kepada orang lain untuk mengambil hak hidup saya. Kalau orang tidak suka dengan saya, maka karena saya kafir dalam definisi agama tertentu, maka orang boleh membunuh saya, tanpa menghukum si pembunuh.
Status kekafiran saya menjadikan pandangan keagamaan saya tidak diakui. Karena saya kafir dalam pandangan agama tertentu, maka saya tidak boleh menggunakan ‘kafir’ untuk merujuk kepada orang yang menyebut saya kafir, walaupun definisi ‘kafir’ yang saya gunakan berbeda dari definisi ‘kafir’ yang mereka gunakan dan dalam definisi tersebut mereka akan masuk ke dalam kategori kafir. Kata ‘kafir’ menjadi monopoli sebuah agama, seperti halnya kata ‘Allah’ di Malaysia.