Monopoli Penerbit Besar Hadir Lagi
Birokrasi lagi. Tata kelola perniagaan buku pelajaran sekolah sudah lancar diubah lagi oleh Kemendikbud. Ada peraturan baru lagi. Muncul Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Kemendikbud, Nomor 2942/D/PB/2019, Tentang Pembelian Buku Teks dan Non Teks Melalui Dana BOS Tahun Anggaran 2019. SE ini ditujukan Kepala SD, SMP, SMA, dan SMK seluruh Indonesia. Kebijakan ini diprediksi mematikan penerbitan kecil. Monopoli penerbir besar hadir lagi.
Kehadiran peraturan baru ini mengembalikan dominasi kekuasaan 10 penerbit besar seperti pada tahun ajaran 2016/2017. Saat itu muncul SE Kemendikbud No. 12 Tahun 2016 Tentang Pembelian Buku Teks Pelajaran Bagi Sekolah Pelaksana Kurikulum 2013 (K13). Entah ada apa?
SE itu dulu diprotes Ikatan Penerbitan Indonesia (IKAPI). Karena SE muncul ada monopoli atau dominasi. Ribuan anggota IKAPI tidak bisa melakukan penjualan buku. Karena pembelian buku oleh sekolah-sekolah pengguna BOS se-Indonesia hanya melalui online (alih-alih hindari korupsi), dan pembelian offline dilarang keras. Sehingga, banyak anggota IKAPI lainnya di daerah-daerah dekat lokasi-lokasi sekolah tidak bisa melakukan penjualan buku.
Efeknya, tragis. Distribusi buku di sekolah-sekolah di Indonesia terlambat. Karena penjualan buku hanya bisa dilakukan secara online oleh pihak sekolah dengan segelintir penerbit besar. Toko buku kecil digrebek LSM bodrek bahkan polisi turun tangan. Alasanya toko tersebut menjual buku milik negara. Buku disita. Rakyat si penjual toko dirugikan. Siswa bengong tidak bisa membeli buku sembarang.
Kok bisa toko buku digerebek? Ini tragisnya monopoli. Naskah buku pelajaran tersebut hak cipta sudah dibeli Kemendikbud. Soft copy buku tersebut diberikan pada 10 penerbit besar untuk dicetak massal dan didistribusikan ke sekolah melalui penjualan online. Ketika buku dicetak di cover belakang buku tercetak Milik Negara. Bila ada toko buku kedapatan menjual buku ya digrebek.
Apakah pembelian online buku tersebut sukses? Tidak. Karena banyak sekali sekolah belum melunasi pembayarannya ke penyedia. Satu penerbit saja, duit yang tidak tertagih 8 sampai 12 miliar di satu provinsi. Mandeg tidak tertagih. Kemendikbud juga tidak bisa berbuat banyak ketika timbul masalah di lapangan karena SE yang serampangan.
Mengapa IKAPI protes? Bayangkan Indonesia dengan berpenduduk 264 juta (2017) dikuasa oleh 10 penerbit besar. Padahal anggota IKAPI sekitar 1.328 seluruh Indonesia. Itu belum penerbitan yang belum terdaftar. Mengapa muncul dominasi? Dana buku itu 20% dari total anggaran Kemendikbud dan itu non PPN. Menggiurkan bukan.
Apa isi SE No.2942/D/PB/2019?
SE ini muncul menindaklanjuti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 03 Tahun 2019 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan BOS 2019. Ada lima point.
1. Pembelian buku teks dan buku nonteks maksimal 20 % dari dana BOS Regular yang diterima oleh sekolah.'