Lihat ke Halaman Asli

Aku Terpasung Saat Api Meledak

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tam! Tum!
Jerit bocah, tangis tetua, ceriwis wanita, gegabah pemuda,
semua ruah malam ini.
Aku masih terpasung di ruangan tak bermasa depan.

Lewat celah jendela aku bersahaja, memaksa mata tatap langit.
Malam ini, langit tak gelap, api yang mengekor melintas di atas kampung kami.
Lilin, lentera, dan obor bak hilang fungsi.
Tembakan api itu terus menghunus tanah kami.
Nun jauh di sana, titik-titik cahaya menyemut berdenyut-denyut.
Ledakan mampir juga ke tanah kami.

Gila! Tunggu apa lagi kau. Segera lari. Sesosok lelaki mengajakku.

Ah, bukankah aku dipasung.
Lihatlah kawan. Aku dipasung.
Bagaimana aku lari dari tempat kumuh dan pesing ini.
Semoga tembakan api itu menusuk gubuk ini. Dan aku mati!

Tam! Tum!
Jerit bocah, tangis tetua, ceriwis wanita, gegabah pemuda,
semua ruah malam ini.
Derap langkah mereka terus menggema.

Bodoh. Hendak ke mana mereka lari. Kampung kami dikelilingi samudra.
Tuhan, apa ini yang dikata konflik.

Lalu mulai dini hari, senyap. Langit kembali gelap.

Tuhan, apa ini yang dikata damai.

Hore! Hore!
Pekik bocah, syukur tetua, haru wanita, senyum pemuda.
semua lega. Mereka girang.
Tapi mereka lupa, kampung kami masih tanpa listrik.

Oh, tahun baru rupanya. Hore! Pekik mereka.
Tapi aku masih terpasung dini hari ini,
masih tanpa listrik.

Makmur Dimila mengucapkan selamat tahun baru 2011. Bagi warga yang tinggal di daerah terpencil, jangan berkecil hati. Meski masih hidup tanpa listrik, petiklah masa depanmu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline