Lihat ke Halaman Asli

Bis Sekolah yang Kutunggu

Diperbarui: 1 November 2016   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini penyebab minimnya pelayanan Pemerintah karena anggaran terbatas.  Karenanya, mantan Gubernur  DKI Jakarta Ali Sadikin alm., sampai  melegalkan usaha judi, lalu dipajaki untuk cari uang. Kepada pemerotes bang Ali menjawab,  “Jangan injak jalan yang diaspal dengan uang  hasil pajak  judi itu”. Di zaman itu mulai  ada  Bus Sekolah, satu-dua kali saya  pernah lihat. Namun kemudian raib.

Selama setengah jam saya duduk makan siang disebuah restoran, melintas tak kurang dari tiga BUS SEKOLAH berwarna kuning tua, persis sama dengan “SCHOOL BUS” di Amerika Serikat dan beberapa kota lain di Dunia. Masih mulus dan ternyata kemudian sudah banyak yang beroperasi .  

Di tahun 1960-an kelompok pemusik Koes Plus merilis lagu antara lain liriknya “Bus sekolah yang kutunggu - Tiada yang datang…”.  Kita tahu selama ini para remaja sekolahan itu, bahkan di seluruh Indonesia,  berdesakan di bus kota, mikrolet, angkot dsb dengan  separoh bayar. Termasuk saya waktu masih sekolah, anak-anak dan kini cucu-cucu saya : tiga generasi.   Banyak kecelakaan karena ada juga yang bergelantungan di truk. Belum lagi anak–anak yang keluyuran sepulang sekolah,  tawuran dengan korban nyawa atau luka-luka, rusaknya pagar dan taman, kemacetan, merepotkan aparat kepolisian  dst.  

Kabarnya di masa Gubernur Foke sudah mulai diadakan lagi bus ini, tapi saya tak pernah melihatnya.  Bagaimanapun,  Koes Plus  harus menunggu lebih dari 50 tahun datangya benda  bernama  BUS SEKOLAH  ini. Sebagian pemusik itu kini  sudah keburu wafat, tidak ikut menyaksikan, apalagi menikmatinya.  

Dibawah tulisan BUS SEKOLAH DKI Jakarta ini tertulis kata GRATIS.  Di Malaysia bus yang persis sama, BAS SEKOLAH namanya, tidak gratis, dikelola swasta.

Alasan kurangnya dana bisa dipertanyakan, buktinya  bisa gratis. Dan kalau memang Pemerintah kurang anggaranpun, ‘kan bisa mengundang swasta ?. Wong pasarnya jelas, bahkan membludak, berlanjut dan  kecil risikonya buat pengusaha maupun konsumen. Swasta bisa berebut, ditender, harga bisa minimal. Orang tua muridpun tak akan keberatan bayar.  Anggaran bisa dipakai untuk yang lain.

Walhasil, saya tidak tahu kenapa kebutuhan pelayanan penting ini harus menunggu begitu lama. Sebab kalau mau, ada saja jalan.  Termasuk kebutuhan pelayanan warga yang lainnya. Dimohon kalau ada yang bisa menjelaskannya.

Namun penambahan kata “Gratis” ini mengganggu juga, sekalipun Gubernur Ahok punya alasan sendiri untuk pengawasan.Sebab yang  dibilang gratis bisa-bisa nanti tidak gratis juga. Ada ongkos anunya oleh aparatnya. Kata dan perbuatan itu belum tentu satu. Lebih baik terang-terangan dituliskan.   Tetapi,  ya bila dibaca dan di foto oleh  orang asing,  rasanya  gimanaaaaa…gitu !!!  

Wassallam,

Mak Itam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline