Krisis Ukraina telah menarik perhatian besar dari komunitas internasional, dan krisis ini secara langsung melibatkan Kuartet (4 pihak), AS, Rusia, kekuatan besar Eropa (NATO) dan Ukraina. Dalam krisis ini kiranya dapat di-istilahkan dalam dua kata untuk merangkum tanggapan empat pihak terhadap krisis Ukraina. Situasi keseluruhan, AS adalah "pengipas api (provokator/mengompori)", Rusia adalah "penyulut api (pengobar api)", kekuatan besar Eropa (NATO), terutama Prancis dan Jerman "pepadam api/kebakaran" , Ukraina adalah "tungku api (talenan)"
Marilah kita bahas tentang AS ibaratkan sebagai "pengipas api (provokator)", dengan merosotnya kekuatan nasional AS secara keseluruhan, maka strategi luar negeri AS secara keseluruhan telah bergeser dari melancarkan perang langsung ke perang yang lebih menghasut, tidak nyaman jika dunia tidak kacau, karena dengan kacaunya kawasan lain dan negara lain kacau justru akan membawa keuntungan besar baginya.
Jadi masalah krisis Ukraina, bamyak pengamat dan analis luar yang berpandangan pemerintahan Biden dengan sengaja memprovokasi, menghebohkan, dan memanas-manasi terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina, dengan setidaknya ada tiga target atau tiga tujuan.
Salah satunya adalah untuk mengalihkan perhatian rakyat AS dari kekurang berhasilannya tata pemerintahannya untuk menjadi baik.
Yang kedua, meningkatkan ketegangan di kawasan, yang dapat mendorong aliran modal dari Eropa ke AS, yang akan bermanfaat untuk kebutuhan pemilihan Biden maupun untuk kepentingan Wall Street.
Yang ketiga, untuk konsistensi tujuan AS dalam jangka menengah dan panjang, yaitu memecah belah Eropa dan memutus ketergantungan energi Eropa terhadap Rusia. Sekaligus memperdalam ketergantungan energi pada AS. Pada akhirnya mengubah Eropa menjadi tempat yang tetap menjadi yang dipimpin AS, sehingga mustahil untuk menjadi kekuatan independen yang menyeimbangkan AS, atau bahkan melawan AS.
Provokasi AS dimanifestasikan dalam banyak aspek yang membesar-besarkan agresi Rusia terhadap Ukraina, sebelumnya terjadinya perang, AS sengaja melakukan evakuasi personel kedutaan AS di Ukraina, dan memerintahkan 8.500 tentara AS dari negara-negara anggota Nordik untuk dikerahkan di timur untuk ditempatkan lebih banyak pasukan dalam "siaga tinggi", mengirim banyak senjata ke Ukraina yang membuat mereka menjadi pongah.
Biden bahkan telah membuat pernyataan mengancam berkali-kali. Jika Rusia berani menyerang Ukraina, itu akan menerima konsekuensi yang sangat serius. Kemudian dia menciptakan kesan bahwa jika konflik Rusia-Ukraina pecah, AS akan mencabut pedangnya.
Dalam arti tertentu, ini telah mendorong kepercayaan Ukraina untuk mendapatkan kembali kendali atas wilayah Donbas timur, dan AS tidak memiliki hati nurani yang merasa bersalah. Kita banyak mengetahui bahwa dunia telah memasuki "era pasca-Amerika".
Sekarang AS sudah tidak memiliki keinginan dan kekuatan untuk melakukan pertikaian militer dengan Rusia. Pernyataan Biden pada konferensi pers berkali-kali mengungkap sifat AS ini. Biden mengatakan bahwa jika Rusia menginvasi dalam skala kecil, itu mungkin masalah lain. Tapi nyatanya setelah serangan
Rusia terjadi AS hanya menjatuhkan sanksi, militernya tanpa bergerak apa pun.