Intervensi AS
Sejak tahun 1970an, beberapa negara-negara sekitar kepulauan Spartly mulai secara sepihak telah menduduki beberapa pulau, dan bahkan beberapa tahun terakhir ini telah membangun proyek-proyek engineering/rekayasa, menimbun persenjataan dan menggunakan cara-cara lain untuk memperkuat kehadirannya. Tiongkok menganggap tindakan ini melanggar wilayah kedaulatan dan hak-hak maritimnya.
Namun selama itu untuk jangka yang lama, AS tidak pernah meminta negara-negara itu untuk “membekukan” tindak-tanduk tersebut.
Sebagai contoh seperti Filipina yang telah dengan sengaja memdamparkan kapal perang rongsokannya di Shoal Ren’ai salah satu pulau atol di Kep. Nansha selama 16 tahun hingga sekarang. Jika hal-hal yang dilakukan memang harus dengan gagasan AS “Pembekuan” dan semua pihak untuk tidak mengklaim setiap pulau dan beting/terumbu yang terlingkup dalam “DOC” yang ditanda-tangani pada tahun 2002, pendudukan sepihak dari Filipina di Shoal Ren’ai apakah bisa dibenarkan? Demikian sebagian pengamat mempertanyakan tentang sikap dan gagasan AS tersebut.
Pengamat Tiongkok menganggap AS selalu memakai “kacamata berwarna” untuk melihat isu Laut Tiongkok Selatan dan yang berkaitan dengan negara-negara bukan Tiongkok, bahkan menuduh AS memandangnya dengan kebutaan selektif dan kebisuan selektif.
Untuk masalah pembangunan yang dilakukan negara-negara seperti Filipina di Laut Tiongkok Selatan, AS hampir tidak perduli. Tapi begitu Tiongkok melakukan sesuatu di pulau yang diklaim sebagai wilayahnya, langsung ribut dan menyalahkannya. Dari sini bisa dilihat sikap “pembekuan” yang dimaksud AS, semua itu berkaitan dengan pelayanan yang disesuaikan dengan kebijakan Asia-Pasifik, terutama kebijakan maritim AS untuk kawasan Asia-Pasifik.
Di masa lalu, AS pernah menekankan strategi ‘Blue Water’. Strategi ini disebarkan dimana maritim yang akan dicegah AS, sesuai dengan strategi yang akan mereka lakukan. Saat ini mereka telah meng-upgrade strategi mereka menjadi ‘Brown Water’, strategi ini lebih menekankan pada hubungan AS dengan sekutunya, disamping itu juga dengan perilaku pencegahan dan kontrol maritim, AS menggunakan sengketa daerah sebagai alasan dan memperalat atau menggunakan pihak-pihak yang bersengketa dalam kawasan tersebut, juga dikenal sebagai “sekutu militer regional mereka” sebagai dukungan utama, untuk memperluas pengaruh mereka. jadi dalam sengketa maritim, AS melakukan selektif buta tentang perilaku ilegal negara tertentu ‘terhadap negara-negara tertentu lainnya’ , AS sengaja melakukan hal ini.
Berkaitan dengan ini Dubes Tiongkok untuk AS, Cui Tinkai mengatakan, pemerintah AS perlu lebih memperjelas isi dan maksud dari proposal ini untuk Laut Tiongkok Selatan, apa yang di maksudkan dengan “Pembekuan atau Freezing things”. Misalnya, apa yang dimaksud “Pembekuan” itu, berapa lama “pembekuan” akan berakhir? Terutama perlu diketahui sebelum ini sudah banyak hal yang telah terjadi. Sebelum “DOC” disepakati, beberapa negara telah melakukan banyak hal yang merambah hak dan kepentingan Tiongkok. Hal-hal ini apakah juga perlu dibalik?
Departemen Luar Negeri AS telah menegaskan berkali-kali bahwa proposal “pembekuan” adalah tidak resmi, apakah proposal itu harus atau tidak perlu digunakan, terserah pihak yang terlibat dalam masalah Laut Tiongkok Selatan.
Daniel Russel, US Asistance of State mengatakan Saran kami dibuat dalam semangat kontruktif dan untuk memudahkan, kami berharap negara-negara yang bersangkutan akan mengajukan saran tentang langkah-langkah sukarela untuk menurunkan eskalasi (ketegangan).
Tapi BBC mengatakan sejatinya AS dalam mempromosikan “pembekuan” harus “benar dan praktis untuk dinegosisiasikan” dengan 10 negara ASEAN dan Tiongkok. AS diharapkan untuk mencapai kesepakatan serupa dengan “DOC” yang sudah dicapai pada tahun 2002, dan mengembangkan ke arah penandatanganan Kode Etik Resmi Laut Tiongkok Selatan (South China Sea Code of Conduct).