Lihat ke Halaman Asli

Sucahya Tjoa

TERVERIFIKASI

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

AIIB Membuat AS Bimbang Dan Galau (3)

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bergabungnya Negara Maju Karena Bentuk Dari AIIB

Menurut informasi yang dikutip “wallstreetcn.com” dari Dow-Jones, baru-baru ini, delegasi negosiasi Tiongkok telah berjanji kepada beberapa sekutu AS yang paling setia bahwa Tiongkok tidak akan memiliki hak veto. Informasi ini mengatakan bahwa pernyataan ini sangat penting dalam merangkul Inggris, Jerman dan Italia sebagai pendiri AIIB.

Menanggapi hal ini, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok—Hua Chunying mengatakan bahwa sistim dan pembagian saham adalah piagam (charter) AIIB, dan semua pihak sedang meng-negosiasikan konten yang relavan yaitu Charter AIIB. Dengan terus meningkatnya sejumlah keanggotaan negara, proporsi saham masing-masing anggota secara alami akan menurun sesuai dengan keadaan. Pendapat yang mengatakan bahwa gagasan Tiongkok sedang mencari atau sudah menyerahkan hak veto adalah non-isu.

Organsasi-organisasi internasional mirip dengan perusahaan TBK : bagi semua negara besar akan memegang kontrol akhir seperti pemegang saham terbesar dalam perusahaan TBK. Di Bank Dunia misalnya, pada tahun 1946, kekuatan suara AS 36%, kurang dari 50%. Dalam Charter (piagam) Bank Dunia menyatakan untuk merevisi piagam/charter, diperlukan 65% pendukung. Jika AS menentang sesuatu, jumlah suara/pihak yang mendukung sesuatu itu hanya berjumlah 64%. Dengan hanya 1% AS menguasai Bank Dunia. Kemudian setelah negara-negara lain di revitalisasi, suara AS telah berkurang.

Peraturan yang berlaku saat ini, setiap perubahan piagam harus mendapat persetujuan dari tiga puluh lima anggota, dan 85% pihak yang mendukung dari Dewan Direksi Eksekutif. Dalam rangka untuk mengambil efek, dan suara AS 15,85%. Jadi bila terus diadakan pemungutan suara, persentase kecil ini tetap sebagai pihak yang mempunyai hak veto.

Dunia luar kini bertanya-tanya, apakah Tiongkok juga akan menerapkan kebijakan semacam ini di AIIB ?

Xiang Songzuo (向松祚), Ekonom Senior Bank Pertanian Tiongkok (juga mantan Deputy Director and Senior Fellow, Center for International Monetary Research, Renmin University of China, People's Republic of China), memberi komentar: Dari sudut pandang dan perspektif Tiongkok, saya berharap Tiongkok memiliki hak veto di AIIB. Sebaliknya jika semua orang (negara) memiliki satu suara, atau jika orang memiliki saham yang sama dan hak suara sama, atau sistim ini tidak dirancang secara rasional, akan sangat sulit untuk beroperasi, seperti euro.

Jika kita lihat di Eropa, orang-orang di Eropa akan mengatakan bahwa design sistim untuk euro tidak rasional. Seperti diketahui, masing-masing negara memiliki satu suara, tidak perduli seberapa besar atau kecil mereka, tetap memiliki satu suara. Seperti Luxemburg memiliki satu suara, demikian juga Belanda.

Hal demikian yang menyebabkan timbul banyak masalah. Iutlah sebabnya kenapa kita melihat banyak hal yang terjadi selalu sangat lambat di Eropa. Ada kutipan dari Henrry Kingger yang terkenal, dimana ia berkata : “ Ketika kita ada sesuatu yang ingin diskusikan dengan Eropa, kita tidak tahu harus pergi kepada siapa, karena tidak ada negara yang bisa berbicara untuk semua Eropa.” Jadi Xiang Songzuo mengatakan AIIB harus  berhati-hati, harus bagaimana sistim ini dirancang. Tiongkok seharusnya tidak mudah menyerahkan pengaruhnya yang menentukan.

Menurut “MoU” dalam pendirian AIIB akan memiliki modal terdaftar US$ 100 miliar, Tiongkok akan melakukan setoran awal US$ 50 miliar setara 50% investasi, sehingga menjadi pemegang saham terbesar, dan alokasi saham semua anggota yang berniat untuk menjadi pendiri akan didasarkan atas dasar kekuatan ekonomi masing-masing negara diukur dengan PDB mereka.

Xiang Songzuo lebih lanjut mengatakan : Jika didasarkan dengan proporsi PDB, Tiongkok secara alami akan sebagai pemegang saham terbesar. Hal ini tanpa bisa dipertanyakan. Hanya pertanyaannya berapa hak suara yang akan dimiliki bagi pemegang saham terbesar? Ini sangat sulit untuk mengatakan sekarang, tapi menurut saya jika Tiongkok tidak memiliki hak veto dalam sistim, kami (Tiongkok) berharap saham dan hak suara harus relatif terkonsentrasi, sehingga akan bermanfaat untuk operasi untuk masa depan organisasi. Tiongkok tidak harus berpikir karena semua orang tidak suka dengan sistim veto AS, lalu kita harus mengubah organisasi kita menjadi organisasi yang benar-benar demokratis, karena dengan begitu kita justru akan tidak bisa mengoperasikannya, dan bahkan mungkin akan menjadi sebuah organisasi yang sangat merepotkan. Katanya lebih lanjut.....

Jadi saya pikir untuk hak veto ini, kita perlu adanya tujuan, kesadaran rasional. Mengenai Tiongkok, media asing sudah ada yang mengatakan bahwa Tiongkok memperoleh partisipasi Inggris dan Jerman, karena telah menyerahkan hak veto, tapi saya pikir ini pernyataan yang tidak akurat. Karena negara-negara ini juga tahu perlu adanya sistim pengambilan putusan yang baik. Negara-negara ini termasuk Inggris dan Jerman, mereka memiliki orang-orang brilian, saya pikir bergsabungnya mereka bukan karena hak veto, tapi pertimbangan untuk strategi jangka panjang bagi negara mereka.

Tapi walau bagaimanapun, jika Tiongkok menyerahkan hak vetonya, akan tetap menjadi yang memiliki jumlah hak suara terbesar di AIIB. Lagi pula, cadangan devisa Tiongkok yang US$ 4 tilliun dan pasaran yang besar akan menjadi hak suara yang terbaik.

Zhao Lei mengatakan : Jadi hak pengambilan keputusan Tiongkok tidak akan menjadi kendali AIIB, hanya akan menjadi advokasi dan inti kekuatan AIIB. Tidak hanya inti kekuatan akan hadir sendiri pada saham, itu akan muncul dengan sendirinya, bahkan Tiongkok sepertinya memiliki kemampuan untuk mendorong masyarakat internasional untuk mencapai konsensus, dan dengan dasar konsensus, satu demi satu proyek akan dapat di-implementasikan.

Pada kenyataannya, negara-negara Eropa juga mulai menyadari bahwa sistim keuangan yang selama ini dipandu AS tidak dalam kepentingan Eropa. Selama krisis utang Eropa, AS tidak membeli utang Eropa untuk membantu untuk keluar dari krisis, banyak dari lembaga perkreditan AS memberi rating atau peringkat kredit Eropa rendah dan meremehkan.

AS meluncurkan beberapa kebijakan pelonggaran kuantitatif dan obyektifit setelah krisis keuangan, ini menjadi pukulan berat bagi kepercayaan pada euro, dan merusak pengaruh euro di dunia.

Setelah tahun 2008, banyak negara-negara Eropa mengusulkan reformasi sistim mata uang internasional, Bank Dunia dan juga reformasi struktur dari IMF, tapi semua ditolak AS.

Xiang Songzuo mengatakan, ada beberapa orang  yang cukup ekstrim di AS yang dengan tegas menentang memberi suara lebih kepada negara-negara emerging market (pasarnya sedang bangkit). Mereka sangat keras kepala. Managing Director IMF—Christine Lagarde yang orang Prancis, sangat marah dengan AS karena hal ini, dia menekankan berkali-kali sejak Kongres AS terus menentang reformasi sistim mata uang internasional dan IMF, dia mengatakan itu hanyalah masalah waktu sebelum kita bernegosiasi dan sepakat untuk memindahkan markas IMF dari Washington ke Shanghai.

Zhang Monan mengatakan : Banyak negara-negara Barat, bahkan mereka adalah sekutu AS seperti Inggris, Jerman dan negara-negara lainnya, mereka jarang menikmati pemerataan manfaat dan suara dalam sistim pengambilan keputusan, jadi ini juga yang menjadi dorongan mereka yang membutuhkan untuk lebih terbuka, lebih diberi hak setara internasional dalam mengemukakan pendapat. Misalnya, sejak krisis keuangan perkembangan dari yang semula G8 menjadi G20 saat ini telah mencerminkan perubahan besar dalam tatanan ekonomi global setelah P.D. II. Banyak negara termasuk negara-negara yang sedang berkembang dan “negara-negara maju” tradisional, mereka ingin menggunakan hak-hak mereka dan memperjuangkan kepentingan ekonomi dan strategis negara mereka sendiri dengan lebih setara dalam sistim diversifikasi adminstrasi.

Hal ini bisa diprediksi bahwa Tiongkok mengusulkan AIIB untuk di-implementasikan satu langkah pada satu waktu, akan ada paket besar proyek-proyek infrastruktur yang terus mengikutinya, Jalur dari Asia Timur dan Asia Tenggara ke Asia Tengah, dan selanjutnya ke Eropa akan terbuka, dua populasi dan ekonomi besar Tiongkok dan Eropa di kedua sisi daratan Eurasia ini akan terhubung, ini belum pernah terlihat sebelumnya dan cara yang sangat effisien.

Dalam hal yang sangat penting ini, negara-negara Eropa berharap untuk menggunakan metode ini untuk menghubungkan sgtrategi inisiatif  “Sabuk Jalur Sutra” Tiongkok sampai batas tertentu melebarkan investasi Eeropa secara logis di AIIB. Ini pilihan yang rasional.

( Bersambung .............. )

Sumber dan Referensi : Media TV dan Tulisan Dalam & Luar Negeri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline