Lihat ke Halaman Asli

Sucahya Tjoa

TERVERIFIKASI

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

T.H.H.K = Tiong Hoa Hwee Koan (Zhong Hua Hui Guan) dengan Istilah Tionghoa & Tiongkok

Diperbarui: 25 Februari 2024   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://twitter.com/potretlawas/status/1013661790566137856

Tiong Hoa Hwee Koan, merupakan pelopor yang menggunakan istilah “Tionghoa” dalam bahasa Indonesia, yang sebelumnya dengan istilah “Tjina” (Cina). Tidak dapat dinafikan bahwa sampai akhir abad ke-19, istilah baku yang digunakan oleh dunia Melayu atau mereka yang berbahasa Melayu untuk merujuk kepada Tionghoa atau orang Tionghoa di Malaya dan Hindia Belanda adalah “Tjina”(Cina).

 

Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan istilah Tionghoa untuk pertama kali di Indonesia ditemui dalam nama perkumpulan yang didirikan pada tahun 1900, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan/THHK (中华会馆zhong hua hui guan). Tapi dalam anggaran dasar THHK masih digunakan istilah “Tjina”(Cina), saat itu “Tionghoa” masih belum masuk dalam perbendaharaan kata Melayu.

Dalam Laporan Komisi THHK bulan Desember 1902 yang disiarkan pada tanggal 14 Pebruari 1903 di Surat Kabar “Li Po” masih menggunakan “bangsa Tjina dan negeri Tjina” untuk menyebut orang Tionghoa dan Tiongkok. Dokumen THHK yang lain yang diterbitkan dalam kurun tahun 1904 masih menggunakan nama “Sekolah Tjina dan Soerat Tjina” untuk menyebutkan sekolah Tionghoa dan aksara Tionghoa. Namun istilah bangsa Tiong Hoa juga mulai dipakai.

 

Istilah Tionghoa dan Tiongkok mulai populer dipakai dikalangan orang Tionghoa di Hindia Belanda, sejak dekade ke-2 abad ke-20. Ini dikilahkan ada hubungannya dengan penggunaan istilah Zhonghua (中华) di daratan Tiongkok. Orang Tionghoa di di Hindia Belanda dipengaruhi oleh Nasionalisme Tionghoa, juga menggunakan istilah tersebut untuk menyatakan solidaritas mereka.

 

Namun nasionalisme Tionghoa di Jawa bukan se-mata2 eskpansi dari nasionalisme di Tiongkok. Ini merupakan manifestasi peranakan Tionghoa tentang ketidak puasan mereka terhadap kedudukan mereka sebagai penduduk kelas dua di Hindia Belanda. Kala itu masyarakat kolonial Hindia Belanda membagi masyarakat sosial menjadi tiga bagian : Orang Eropa ; Orang Timur Asing ( Freemde Oosterlingen) ; Pribumi (Inlanders). Orang Eropa dan Belanda menempati kelas atas, orang Tionghoa, Jepang, Arab digolongkan kelas dua, sedang Pribumi digolongkan kelas paling bawah. Hukum kolonial juga mendiskriminasikan orang Tionghoa. Orang Tionghoa diwajibkan tinggal didaerah tersendiri(wijekenstelsel) dan baru boleh meninggalkan daerahnya kalau mendapat pas jalan (passenstelsel). Orang Tionghoa yang melanggar hukum diadili oleh pengadilan polisi untuk perkara kriminal yang agak ringan. Jika melanggar hukum berat diadili dipengadilan yang mayoritas pribumi. Orang Eropa diadili di Pengadilan Eropa. Orang Tionghoa tidak puas dengan perlakukan demikian.

 

Dalam masa menjalankan “Politik Etik” kolonial Belanda, salah satunya menghapuskan “Revenue Farming” yaitu yang memberikan hak monopoli untuk mengumpulkan berbagai pajak (termasuk pajak judi dan opium) yang biasanya diberikan kepada orang Tionghoa oleh pihak kolonial Belanda. Tapi dengan dihapuskannya “Revenue Farming”, juga dibarengi dengan pelaksanaan “wijekenstesel & passemstelsel” yang lebih ketat, ditambah lagi pada tahun 1899 ketika orang Jepang diberi status sama dengan orang Eropa dalam Hukum karena menang perang dan menjadi salah satu kekuatan di international, sehingga orang Tionghoa di Jawa juga terpengaruh. dan membuat mereka memperkuat rasa nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda ( kala itu masih belum ada Indonesia). Mereka juga menginginkan agar negara Tiongkok juga menjadi kuat, dan berperan dalam dunia international.

 

Orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam memperjuangkan status persamaan dengan orang Eropa, berusaha dengan memperbanyak organisasi Tionghoa, salah satunya THHK dan sekolah2 Tionghoa. Melalui THHK dan sekolah2nya, serta penyebaran pemakaian istilah Tionghoa dalam pers peranakan, peranakan Tionghoa mulai terbiasa mendengar istilah baru ini (Tionghoa). Istilah lama, “Tjina”(cina) mulai dianggap sebagai status rendah dan menjadi target dari gerakan nasionalis Tionghoa.

Dalam konteks tersebut orang Tionghoa di Hindia Belanda mulai merasa dihina jika ras lain menyebut mereka Tjina(cina).

 

Sementara itu di Batavia, Bogor, Sukabumi dan kota2 lain muncul gerakan “Jong Chineesche Beweging” ( Kaum Muda) yang anggotanya terdiri dari orang muda dan tua Tionghoa yang berpikiran maju dan menumbuhkan serta menanamkan rasa nasionalisme Tiongkok di kalangan orang Tionghoa di Hindia Belanda. Mereka sering mengadakan rapat2.

 

Akhirnya pada rapat tahun 17 Maret 1900, yang dihadiri oleh 20 orang perserta diputuskan berdirinya perkumpulan “Tiong Hoa Hwee Koan”(THHK) dengan susunan pengurus sebagai berikut:

 

Presiden  : Phoa Keng Hek

Wakil Presiden : Khoe A Fan & Ang Sioe Tjiang

Komisaris : Oey Giok Koen, Oei Koen Ie, Tan Kong Tiat, Lie Hin Liam, Nio Hoey Qen, Phoa Liep Tjay, Kouw Kim An, Tan Tian Seng, Ouw Tiaw Soey, Ouw Sian Tjeng, Oen A Tjoen, Lie Kim Hok.

Penasihat : Khoe Siauw Eng

Sekeretaris Pertama : Tan Kim San

Sekeretis Kedua : Khoe Hiong Pin

Bendahara Pertama : Khouw Lam Tjiang

Bendahara Kedua : Tjoa Yoe Tek

 

Menurut pasal 2 Anggaran Dasar, tujuan THHK antara lain :

  1. Untuk mengembangkan adat istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai dengan ajaran2 Konghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama bidang tulis-menulis dan bahasa.
  2. Mendirikan gedung2 perkumpulan untuk tempat pertemuan para anggota untuk membicarakan masalah2 dalam melaksanakan hal2 seperti yang dinyatakan dalam point 1, dan hal2 lain yang bermanfaat untuk kepentingan umum sebatas tidak melanggar undang2 yang berlaku.
  3. Mendirikan perpustakaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan.

 

Tapi tujuan utamanya adalah mengembangkan ajaran Konghucu dan mengubah kebiasaan2 dalam melakukan upacara perkawinan dan pemakaman secara besar2an. Kemudian berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan terutama dalam pengembangan pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan bahasa dan mendirikan sekolah2.

 

THHK juga menentang perjudian yang telah menjadi kegemaran dan kebiasaan orang2 Tionghoa. Bahkan pada tahun 1903 seorang yang bernama Phoa Keng Hek yang sangat terkenal anti-perjudian, mengikuti lelang pach judi di Bekasi dan menang. Ketika pach itu diperoleh langsung dia membayar uang pach kepada pemerintah kolonial dan sekaligus juga menutup rumah judi tersebut, sehingga sedikitnya dalam setahun tidak ada tempat perjudian umum yang legal di Bekasi..

 

Pada tanggal 3 Juni 1900 Surat  Pendirian THKK  disahkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan diterbitkan. Dan pada tanggal 11 juni 1900 dalam pesta ulang tahun Phoa Keng Hek di Teluk Pucung yang dihadiri para pengurus THHK,  tercetus gagasan dan idee untuk mendirikan sekolah.

Para penggagas utama adalah Lie Kim Hok, Tan Kim San, Lie Hin Liam, Oey Koen Ie, Tan Tjong Long, Thio Sek Liong, Ang Sioe Tjiang, Khoe Siauw Eng, Khoe A Fan.

 

Idee mendirikan sekolah ini timbul karena pada saat itu pemerintah kolonial Belanda tidak menyediakan sekolah untuk anak2 Tionghoa, sedangkan untuk anak2 bumiputra telah tersedia sekolah2 gupernemen. Anak2 Tionghoa hanya mendapat pendidikan dari guru privat yang mengajar di-rumah2 guru atau pribadi, dengan memberi pelajaran2 klasik Tiongkok kuno tanpa tahu artinya dan sedikit ilmu hitung.

 

Memang sejak 1775 di Batavia ada semacam sekolah yang dikelola Kongkoan yang disebut “Beng Seng Sie Wan” atau “Gie Oh”, yaitu model sekolah kuno di Tiongkok yang mengajarkan sastra klasik Tiongkok dalam bahasa Hokkian, berupa ajaran2 Konghucu seperti Lun Yu( 论语)atau Analek, Si Shu Wu Jing atau Empat Kitab dan Lima Klasika(四书五经si shu wu jing), yang berlokasi di Kelenteng Kim Tek Ie, Petak Sembilan. Sekolah ini untuk membantu anak2 miskin yang tidak sanggup membayar guru privat. Kongkoan membayar f. 300 per bulan kepada Gie Oh untuk membayar kepala sekolah dan dua orang pembantunya serta pengeluaran2 lainnya.

 

Pada 17 maret 1901 THHK mendirikan sekolah pertama yang diberi nama “Tiong Hoa Han Tong” dengan kepala sekolah Louw Koei Hong yang didatangkan dari Singapura atas bantuan dari Dr.Lie Boen Keng dan berlokasi di Jalan Patekoan (sekarang Jl. Perniagaan).

Sistim yang digunakan adalah meniru sistim modern yang telah digunakan di Tiongkok dan Jepang. (Sejak tahun 1872 Restorasi Meiji, Jepang telah mengubah pendidikannya dengan meniru sistim modern dari Barat).

 

Karena berlokasi di Jalan Patekoan, sekolah THHK menjadi terkenal dengan sebutan PA HOA, hingga sekarang gedung sekolah tersebut masih berdiri dengan nama Sekolah Menengah Umum 19 (Cap Kauw).

 

Pada 1 September 1901 THHK berhasil mendirikan sekolah berbahasa Inggeris yang diberi nama “Yale Institute” atau “Afdeeling C Tiong Hoa Hwee Koan” yang dipimpin oleh Dr. Lee Teng Hwee dan management sekolah ini terpisah dari sekolah yang berbahasa Tionghoa. Tapi pada Desember 1904 diambil keputusan untuk menggabungkan kedua sekolah yang terpisah tersebut.(Kemudian Gie Oh yang dikekola Kongkoan juga digabungkan dengan THHK)

 

Melihat kemajuan sekolah THHK yang diluar dugaan dan dalam waktu singkat, maka orang2 Tionghoa di kota2 lain turut mendirikan sekolah Tionghoa dan bernaung dibawah bendera THHK. Dengan berdirinya ratusan sekolah THHK  tertampunglah ribuan anak2 Tionghoa dalam sekolah tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sekilas Tentang Istilah “CINA”(支那) dan “ Tionghoa – Tiongkok” (中华中国)

 

Dimuka telah dikemukakan tentang istilah Tionghoa dan Tiongkok dikilahkan bahwa mulai populer dipakai dikalangan orang Tionghoa di Hindia Belanda, sejak dekade ke-2 abad ke-20. Ini ada hubungannya dengan penggunaan istilah Zhonghua (中华) di daratan Tiongkok. Orang Tionghoa di di Hindia Belanda dipengaruhi oleh Nasionalisme Tionghoa, juga menggunakan istilah tersebut untuk menyatakan solidaritas mereka. 

 

Namun nasionalisme Tionghoa di Jawa bukan se-mata2 eskpansi dari nasionalisme di Tiongkok. Ini merupakan manifestasi peranakan Tionghoa tentang ketidak puasan mereka terhadap kedudukan mereka sebagai penduduk kelas dua di Hindia Belanda. Kala itu masyarakat kolonial Hindia Belanda membagi masyarakat sosial menjadi tiga bagian : Orang Eropa ; Orang Timur Asing ( Freemde Oosterlingen) ; Pribumi (Inlanders). Orang Eropa dan Belanda menempati kelas atas, orang Tionghoa, Jepang, Arab digolongkan kelas dua, sedang Pribumi digolongkan kelas paling bawah. Hukum kolonial juga mendiskriminasikan orang Tionghoa. Orang Tionghoa diwajibkan tinggal didaerah tersendiri(wijekenstelsel) dan baru boleh meninggalkan daerahnya kalau mendapat pas jalan (passenstelsel). Orang Tionghoa yang melanggar hukum diadili oleh pengadilan polisi untuk perkara kriminal yang agak ringan. Jika melanggar hukum berat diadili dipengadilan yang mayoritas pribumi. Orang Eropa diadili di Pengadilan Eropa. Orang Tionghoa tidak puas dengan perlakukan demikian.

 

Namun apa yang menjadi latar belakang perasaan tersebut? Marilah kita bahas asal mula istilah ini lahir dan dipakai sejak zaman dahulu.

 

Kata ini lahir sejak terbukanya “Jalur Sutra” dari Tiongkok ke Eropa. Saat itu perdagangan sutra dan keramik menjadi primadona komditi. Orang Eropa menyebut Keramik Tiongkok “china’ tidak dengan huruf besar “CHINA”, sedang “CHINA” mempunyai arti negara dan orang (Chinese yang mengacu pada orang Tionghua Han), tapi dengan berkonotasi penghormatan.

 

Dalam bahasa Sangsekerta India, kata “Cin” untuk merujuk Tiongkok, dan istilah ini dibawa ke negeri Tiongkok dari Kitab2 Suci Buddha. Yang berupa macam2 istilah antara lain支那 (Zhīnà), 芝那 (Zhīnà), 脂那 (Zhīnà) dan 至那 (Zhìnà). Istilah “Cin” ini yang pertama diterjemahkan dalam bahasa Mandiri menjadi “Shina支那”, istilah ini dibawa ke Jepang dalam penyebaran agama Buddha di Jepang yang mengacu pada Kitab2 Suci Buddha terjemahan dalam bahasa Mandarin.

Tapi “Cina” 震旦 tidak lazim dipakai oleh orang Tionghua pada zaman itu, istilah ini hanya dipakai oleh orang India. Dan istilah “Cin” menjadi “Cina” dikilahkan karena terjadi asimilasi suara.

 

(支那和震旦差不多,都是古代天竺(印度)对中国的音译。支那原是“Cina”的音译,是古代印度对古代中国的称呼,最早出现在梵文佛经中。梵文Cina进入不同的语言中,其读音变化不大,译音是“China”支那脂那 “至那震旦”) 

Dikilahkan bahwa kata “Cina” dimulai dari istilah “Shina” merupakan terjemahan dari kata Shina atau Sina支那 (シナ/ pingyin = zhi na) yaitu kata Jepang yang “di-Roman-kan”. Konon kata ini dimulai dari bahasa Sangkrit/Shangsekerta ‘Cin” yang tertulis dalam terjemahan Kitab2 Suci Buddha yang ditulis dalam Bahasa Tionghoa pada zaman Tang Dinasti ( tahun 618 – 907 M), yaitu buku2 syair Ti Fan Shu () yang ditulis oleh Raja Tang sebagai berikut:

唐玄宗《题梵书》一诗中说:鹤立蛇形势未休,五天文字鬼神愁。支那弟子无言语,穿耳胡僧笑点头。

《宋史.天竺国传》:天竺表来,译云伏愿支那皇帝福寿圆满

Dimana istilah “Zhina支那” telah tertulis dalam syair ini untuk menunjuk orang Tionghoa, dan isitilah ini diambil oleh seorang cendikiawan Jepang ‘Arai Kakuseki’, yang meng-introgasi seorang missionaris ‘Giovanni Battista Sidoti” pada tahun 1708. Dia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Zhina支那” itu adalah Tionghoa/Tiongkok. Kemudian Sidotti memakai sitilah “China” yang indektik dengan “Shina支那” (dalam laval Jepang). Setelah itu dia mulai memakai isitilah “China’ ini untuk merujuk baik itu untuk ‘Dinasti Tiongkok atau orang Tionghoa’.

Sejak restorasi Meiji, isitilah “Shina” telah dipakai secara umum dan luas sebagai terjemahan dinegara Barat dengan ditulis dengan “China”. Umpamanya “Sinology” telah diterjemahkan menjadi “Shinagaku”(支那学).

 

Mulanya bagi orang Tionghoa masih bisa menerima isitilah ini, istilah “Shina支那” ini masih belum berkonotasi politik. Bahkan pada mula terjadinya revolusi dalam mendirikan negara republik di Tiongkok, Sun Yat Seng, Sung Chiao Jen, dan Liang Qichao, masih dengan intensif menggunakan isitlah ‘China’ untuk rakyat Tiongkok. Tapi sejak ‘Perang Tiongkok-Jepang Pertama’(1 August 1894 – 17 April 1895 中日甲午战争zhong re jia wu zhan zheng), yang menunjukkan bahwa Jepang lebih unggul dari Tiongkok ( Qing Dinasti). Namun isitilah ini masih tetap umum dipakai, bahkan pada tahun 1922 di Nanjing didirikan sekolah Buddha dengan nama “支那內學院” Zhina Nei Xue Yuan. Memang sejak itu istilah “China” menjadi umum dipakai di Jepang dan di dunia Barat.

 

Perasaan ketidak senangan orang Tiongkok terhadap Jepang, dikarenakan saat kaum revolusi menumbangkan rezim kerajaan Qing atau Manchu dan mendirikan Republik Tiongkok atau Zhonghua Minguo ( 中华民国), tapi Jepang tetap saja menyebut Tiongkok secara resmi “Shina Kyowakoku”( 支那共和国 ), dan Tiongkok meminta untuk Jepang menggunakan bacaan Jepang “Chuka Minkoku” untuk Zhunghua Mingguo, tapi selalu ditolaknya. Jepang tetap menggunakan istilah “Shina Kyowakoku” ini mulai tahun 1913 sampai 1930. Bahkan sejak menang perang Jepang menyebut orang Tionghoa “Qinguo nu”(清国奴qin guo nu) yang diterjemahkan dengan “chinaman”, yang mempunyai arti “budak dinasti qing”. Akhirnya walaupun Jepang merubah istilah “Shina Kyowakoku” menjadi “Chuka Minkoku” atas protest keras dari pemerintah dan rakyat Tiongkok pada tahun 1930, tapi bagi orang umum Jepang istilah masih tidak berubah.

Bahkan seperti “shina soba”( 支那そば= ramen atau Mie Tarik masih tetap digunakan, yang sebenarnya sangat menyinggung perasaan orang Tionghoa.

 

Pada tahun 1911 Republik Tiongkok berdiri, setelah pemerintah berhasil menumpas warlord didalam negeri, pada tahun 1913 secara resmi pemerintah Tiongkok minta pemerintah Jepang menghapus istilah ‘shina’ 支那dan mengganti dengan Zhonghua中华

 

Pada tahun 1919 “Gerakan Pemuda untuk Reformasi 4 Mei” (五四运动wu si yun dong ), para demontran yang didominasi kaum muda mengirim surat resmi kepada pemerintah Jepang untuk mengganti istilah yang menghina dan merendahkan orang Tionghoa tersebut.

Tokoh dari demontrasi ini 闻一多(Wen Yiduo) dari Universitas Qinhua(青化大学qing hua da xue), yang mendapat pendidikan di Universita Chicago USA, dalam Seni dan Santra. Mengarang sebuah puisi “ Saya adalah orang Tionghua(我是中国人wo shi zhong guo ren)” yang antara lain menyebutkan “Saya adalah orang Tionghua, bukan orang cina(我是中国人wo shi zhong guo ren, 不是支那人bu shi zhi na ren). Pada 1932 Pemerintah Tiongkok (Zhonghua Minguo) didesak oleh pejabat negara yang cinta tanah air, untuk meminta Pemerintah Jepang dengan resmi mengganti istilah “Shina Kyowakoku”( 支那共和国 ) menjadi “Zhonghua Minguo ( 中华民国)”. Dan mengganti semua isitilah “Shina” menjadi “Zhonghua” untuk semua surat resmi Jepang dan di surat2 kabar Jepang.

 

Pada tahun 1937 terjadi perang offensif /besar2an melawan penjajahan Jepang di Tiongkok, yang terkenal dengan nama “七七事变 qi qi shi bian”(Peristiwa tanggal 7 bulan 7), dimana saat Jepang mengadakan Latihan Peperangan di dekat Beijing, dengan alasan bahwa berapa tentara Jepang yang hilang. Mereka dengan alasan ini akan mengadakan penggeledahan di wilayah yang masih belum terduduki oleh Jepang (宛平縣wan ping xian). Peristiwa ini menjadi titik permulaan perang offensive terhadap penjajahan Jepang di Tiongkok. Peristiwa ‘Qi Qi Shi Bian’ ini oleh Jepang dinamai “Peristiwa Shina/支那事变zhina shibian”

 

Orang2 Tionghua diseluruh dunia, sehubungan dengan peristiwa diatas banyak terpengaruh dengan perasaan tersebut, dimana merasa bersolidaritas atas ketidak adilan dalam peradaban manusia ini, yang merupakan satu bentuk eksploitasi satu bangsa terhadap bangsa lain.

 

Setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang menyerah tanpa syarat dan menerima penggantian istilah “Shina” menjadi “Zhonghua”( 中华). Tiongkok = Zhogng Guo(中国), Orang Tionghua = 华人hua ren, secara resmi. Sejak itu di Jepang istilah Tionghua dan Tiongkok digunakan secara resmi dan umum.

 

Kini istilah “Shina” dianggap suatu penghinaan bagi Tiongkok dan orang Tionghoa, lebih2 setelah Masakre Nanjing dan invasi Jepang ke Tiongkok.

 

Kembali ke Indonesia, apakah kita akan memakai isitilah “Cina” atau Tiongkok & Tionghua, hingga kini masih belum ada suatu keputusan resmi dari pemerintah. Tapi bagi orang Indonesia yang toleran dan cinta perdamaian, serta yang masih merasakan penindasan dan sadar akan eksploitasi barat terhadap bangsa Indonesia dahulu dari kaum penjajah Barat. Sering kali penulis mendengar mereka selalu menghindar menggunakan isitilah “Cina”, lebih2 jika berhadapan dan berbincang dengan seksama bangsa Indonesia yang Tionghoa. Ini dapat dimegerti dimana bagi orang Indonesia yang sangat menghargai perasaan orang dalam pergaulan dan menjujung sopan santun dalam bermasyarakat, sikap ini terutama terlihat sekali bagi kaum ningrat Jawa. Kebudayaan ini semoga bisa terus dilestarikan dan dikembangkan demi perdamaian dunia.

 

Jakarta. 22 Juli 2010

Paksakerah Makenyok

 

Bahan diambil dari Internet :

Kebudayaan Minoritas Tionghoa Di Indonesia oleh Leo Suryanata, Penerbit PT Gramedia Jakarta 1988

Tionghoa Dalam Pusaran Politik oleh Benny G Setiono, Penerbit ELKASA, 2002

 

http://blog.sina.com.cn/s/blog_4711b54e010007zo.html

 

http://baike.baidu.com/view/455596.htm

 

http://blog.icxo.com/read.jsp?aid=45493&uid=10363

 

http://zh.wikipedia.org/zh-cn/%E6%94%AF%E9%82%A3

辞源 (Ci Yuan) / Kamus Etimologi bahasa Tionghoa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline