Lihat ke Halaman Asli

Yang Terluka dan Generasi Tanpa "Papa"

Diperbarui: 19 November 2017   16:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Warga Indonesia "dibangunkan" dengan kasus Bapak Setya Novanto (Setnov), Ketua DPR RI dan Ketum Partai Golkar, atau kerap disapa secara sarkastik dengan sebutan "papa". Belum habis ingatan kolektif bangsa Indonesia dengan pengusutan dugaan keterlibatan Setnov dalam kasus "Papa Minta Saham", kini ia harus berhadapan dengan kasus hukum lainnya, yakni dugaan keterlibatannya dalam masalah E-KTP. Masalah terakhir ini telah menyebabkan Setnov harus menjadi pasien rawat inap karena merasa "terluka" akibat hantaman psikologis dan opini publik yang keras. 

Setelah melenggang beberapa saat, tampaknya luka Setnov masih terus menganga karena KPK sebagai lembaga independen dan konstitusional secara tegas dan detail menyisir dugaan keterlibatan Setnov dalam kasus yang menghabiskan dana trilyunan rupiah tersebut. Alhasil, Setnov harus bersentuhan dengan "tiang listrik" yang mengantarkannya menuju pembaringan untuk kedua kalinya sebagai pasien rumah sakit.

Setya Novanto, sang "papa", adalah dia "yang terluka". Ia terluka bukan karena dilukai oleh masyarakat Indonesia. Ia terluka  karena memiliki the disease of feeling immortal or essential, yaitu penyakit merasa diri abadi dan penting. Figur yang mengidap penyakit ini oleh Paus Fransiskus dikatakan sebagai orang yang tidak mampu melakukan kritik diri, tidak berusaha meng-up date diri. Ia merasa sebagai "tuan" dan "atasan" daripada sebagai pelayan masyarakat. Secara hukum, Setnov "diduga" bersalah secara hukum.  Lukanya menjadi sebuah "memoria passionis", sebuah luka yang menyakitkan, tentang ketidakadilan di bumi Indonesia. Secara moral, lukanya sang "papa" menjadi sebuah "carater indelibilis", sebuah ciri tak terhapuskan dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. 

Semua suka-luka ini, meminjam analisis Paus Fransiskus, bertitik pusat pada the disease of worldly profit and exhibitionismatau penyakit keuntungan diri dunawi dan pamer diri. Penyakit ini menjadi kambuh dan membuat "papa" terluka karena ia menggantikan pelayanan masyarakat dengan kekuasaan, dan kekuasaan diubah menjadi komoditi yang menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan menghasilkan kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan yang besar ini kemudian dimodifikasi dalam berbagai cara untuk mencapai tujuan, termasuk mendiskreditkan orang lain.

Kasus Setnov memang menyakitkan bagi bangsa Indonesia yang sejak lama menghendaki kehadiran seorang figur yang adil, jujur, bermoral dan bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak bangsa. Munculnya sang "papa" dalam blantika politik tanah air tidak membawa karakter-karakter dasariah itu melainkan mengkhianati keinginan luhur anak-anak bangsa.  Ia menggunaan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya untuk memimpin dan mengatur lembaga legislatif bangsa ini bukan secara bertanggung ajwab, melainkan dengan karakter pribadi yang bersifat abusif dan menyakitkan. Inilah luka yang diberikan sang "papa" untuk anak-anak generasi Indonesia saat ini.

Namun, generasi bangsa Indonesia saat ini adalah putra dan putri, meminjam istilah filsuf David Hume, yang telah "bangun dari tidur dogmatis". Mereka telah mengalami pencerahan dan memiliki kemampuan kritis di hadapan berbagai tawaran nilai, wacana dan idelogi. Mereka secara kritis dan terbuka memandang kondisi "yang terluka" sebagai bagain dari diri mereka sendiri. Tidak seperti si "papa" yang melukai dirinya sendiri secara naif, generasi bangsa Indonesia saat ini mengidentifikasikan "yang terluka" sebagai perlakukan secara kasar dan kejam terhadap jati diri bangsa dan publik Indonesia secara keseluruhan. 

Generasi bangsa Indonesia saat ini adalah mereka yang lahir di zaman media komunikasi modern dan menggunakan berbagai media yang ada untuk menyuarakan "luka hati" mereka akibat ketidakadilan yang ditimpakan oleh figur "papa" ini kepada mereka. Kritik mereka adalah sebuah ketidakpercayaan terhadap atasan yang menyembunyikan kebusukan etis dan moral dalam figur "papa". Dalam keadaan seperti ini, arti dan jati diri sang "papa" mengalami degradasi sampai ke titik nadir. Figur dan kebapakannya diragukan, tidak dipercaya dan dihormati lagi.

Dalam konteks "papa yang terluka", generasi Indonesia saaat ini kemudian bagaikan, meminjam istilah Henry Nouwen, fatherless generation atau "generasi tanpa bapak". Dalam karyanya berjudul The Wounded Healer (1979), Nouwen mendefinisikan "fatherless generation" sebagai berikut: 

"...a generation which has parents but no fathers, a generation in which everyone who claims authority---because he is older, more mature, more intelligent or more powerful---is suspect from the very beginning....Today, seeing that the whole adult, fatherly world stands helpless before the threat of atomic war, eroding poverty, and starvation of millions, the men and women of tomorrow see that no father has anything to tell them simply because he has lived longer" (Nouwen, 1979: pp. 30-31).

Generasi tanpa bapak bagi putra dan putri Indonesia saat ini adalah pria dan wanita yang seakan tidak percaya lagi akan figur-pfigur tertentu yang menuntut untuk dituakan atau dihormati, namun tidak memiliki nilai-nilai etika, moral dan religius yang patut diteladani. Generasi ini menjadi skeptis terhadap otoritas yang mengatasnamakan "yang terhormat" dalam jabatan namun tidak mengaktualisasikan sebuah martabat yang terhormat dalam praksis hidup dan karya.

Generasi Indnesia saat ini memang memiliki orang tua namun seperti kata Nouwen bagaikan tanpa bapak. Mereka menginginkan kepastian hukum dan kebenaran dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kasus Setnov mengingatkan kita bawa hukum dan kebenaran harus ditegakkan di bumi Indonesia. Penderitaan Setnov tidak sebanding dengan ketidakadilan yang dialami oleh generasi bangsa Indonesia saat ini. Bersama Presiden Jokowi dan ahli hukum Yunani, Cicero, generasi Indonesia zaman now, hanya bisa mengingatkan sang "papa: "Kita adalah hamba hukum agar kita menjadi orang bebas. Kita ada budak hukum agar kita dapat meraih kebebasan". 

Indonesia masih memiliki banyak figur bapak yang jujur, bermoral dan religius, termasuk dari generasi Indonesia saat ini. Kita percaya bahwa ketika hukum dan kebenaran telah ditegakkan secara benar dan tegas, tanah kita akan dipimpin oleh para bapak yang setia, tulus, bertanggung jawab kepada semua anak-anak bangsa Indonesia.

Manila, 19 November 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline