Lihat ke Halaman Asli

Kasus PKS: Oknum atau Persoalan Institusi?

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1369896969992957627

[caption id="attachment_256850" align="alignleft" width="197" caption="Gambar dari sindotrijaya.com"][/caption] Ketika tahun 2000 heboh tentang wan prestasi BMT Barokah Sulthonan Nashiro  di Bandung yang tidak bisa mengembalikan dana sekitar 1000 nasabah, saya kaget. BMT yang dikelola oleh orang-orang yang terafiliasi dengan PK (nama partai sebelum menjadi PKS) itu meninggalkan utang  milyaran rupiah. Namun saya meyakini ini persoalan oknum, PK bukan kumpulan malaikat dan tak menggangu saya untuk memilih PKS di Pemilu tahun 2004 dan 2009. (Salah satu link tentang kasus ini: http://groups.yahoo.com/group/partai-keadilan/message/2465 ). Namun belakangan banyak informasi bermunculan. Kasus calo proyek di Kementan, di Pemprov Jabar, kasus kredit dan pembangunan gedung BJB, membuat saya bertanya-tanya, ada apa dengan PKS? Apakah kasus LHI dan kasus BJB hanya masalah oknum? Saya menemukan jawabannya dalam disertasi Arief Munandar, Juli 2011 (Link naskah disertasi: http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/PKS/AriefMunandar-Disertasi-Lengkap.pdf ). Arief Munandar adalah kader PKS.  Ia menyelesaikan S1 dan S2 di UI (management) lalu S3 kajian sosilogi di Universitas yang sama. Judul disertasinya: Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Bagian yang menarik dari disertasi itu adalah faksionalisasi dan konflik internal PKS yang dibahas di bab 4. Salah satu faktor pembentuk faksionalisasi dan konflik internal adalah masalah penggalangan dana (fundraising). Faksi pragmatis mengubah penilaian prestasi seorang kader, bukan dari keberhasilannya merekrut halaqah tetapi dari kemampuannya mendatangkan uang dan kekuasaan. Seorang narasumber, pendiri PK (ada 18 narasumber, kader senior dan mantan kader senior yang dalam disertasi ini disebut informan) mengatakan di hal 86: "Kalau dulu yang dikatakan seorang kader itu yang memiliki kontributor bagus itu kan yang bagaimana ia bisa merekrut halaqah...Dipuji-puji ini. Nah sekarang sudah terjadi perubahan dalam orientasi. Maka  yang disebut berkontribusi itu ya yang tadi, bisa mendatangkan uang, bisa mendatangkan kekuasaan..." Mereka yang "lincah" mengendus, mengakses, dan mengkumulasikan sumber-sumber finansial akan memperoleh apresiasi, dan sebagai konsekuensinya mendapatkan legitimasi untuk melakukan mobilitas vertikal ke posisi-posisi yang lebih strategis (hal 86).  Faksi pragmatis membangun loyalitas dengan kekuatan finansial. Di halaman yang sama seorang kader menuturkan: "AM ada uang. Dia membangun kekuatan...Dan mereka paham cara membangun kekuatan lewat kekuatan uang... Misalnya siapa disuruh umrah...Kader. Hadiahnya umrah, naik haji. Kan berasa." AM adalah lokomotif faksi pragmatis. Gerbongnya, di antaranya adalah FH, MS, AR  (semua nama dalam disertasi ditulis dalam inisial). Di bagian lain  disebutkan bahwa ide pragmatisme finansial ini tidak hanya di pusat, tapi sudah menjalar ke daerah.  Di hal 82 seorang kader menyebutkan bagaimana pesatnya "pertumbuhan" AH, gubernur dari PKS. Menguatnya ideologi uang ini diperparah dengan tidak transparannya sumber dan penggunaannya. Di hal 90 seorang kader menuturkan tentang adanya fee dari kegiatan fundraising. Seringkali tidak jelas berapa %  fee bagi kader  yang telah berhasil mengumpulkan dana itu. Yang lebih mengkhawatirkan,  faksi pragmatis bermain di wilayah abu-abu bahkan menabrak rambu-rambu dalam praksis mencari uang (hal 91). Lalu  di mana faksi idealis (sering disebut juga faksi keadilan, faksi konservatif)? Berbeda dengan faksi pragmatis (faksi sejahtera) yang lincah bermanuver dan menguasai wacana, faksi idealis relatif defensif. Sebagian karena sikap tawadhu mereka, sebagian karena mereka tidak ingin mempertajam konflik. Lebih-lebih mereka tahu pragmatisme finansial ini didukung HA ketua majelis syuro. HNW sebagai tokoh kubu konservatif pernah konflik dengan AM (yang didukung HA) dalam pencapresan Amien Rais pada tahun 2004. AM dan HA lebih condong kepada Wiranto. Diduga ada komitmen uang yang besar sebagai imbalan atas dukungan kepada Wiranto itu. Meskipun HNW berhasil menjadi ketua MPR, namun setelah itu karirnya redup. Arief  Munandar menduga sebagaimana dituturkan sebagian kader senior,  ini akibat konflik pencapresan di 2014 itu. (Belakangan HNW mulai bersinar lagi setelah menjadi ketua fraksi PKS di DPR). Dukungan kepada calon presiden, gubernur, bupati/walikota bukan satu-satunya cara mendapatkan uang. Cara lain dalam kebijakan. Misalnya berubahnya sikap fraksi PKS di tahun 2008 yang akhirnya menolak angket BLBI. Atas perubahan ini berkembang isu bahwa PKS mendapat imbalan dari obligor BLBI (lihat: http://purwoko.staff.ugm.ac.id/pw2/mega-skandal-blbi-dan-sikap-fpks.html ) Penting untuk dicatat bahwa faksionalisasi di PKS tidak mutual exclusive. Ada wilayah-wilayah di mana mereka beririsan. Sikap HA tidak selalu berpihak kepada AM. HA kadang terlihat menyeimbangkan ke kuatan idealis dan pragmatis. Dalam sejarah PKS, AM sebagai sekjen selalu konflik dengan presidennya (NM, HNW, TS). Namun pertanyaan penting untuk HA sekarang: ketika PKS hancur akibat pragmatisme finansial yang dimotori AM, mengapa ia justru dipilih jadi presiden PKS?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline