Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Orang Bermasalah Dipanggil ke Istana?

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14140338191196098870

[caption id="attachment_349371" align="alignleft" width="300" caption="Gambar dari: www.peaceproject.com"][/caption]

Salah satu yang dipanggil ke Istana kemarin adalah IDS, dosen ITB, mantan dirjen di Kementerian Pendidikan (lihat headline Kompas cetak hari ini: Enam Kementerian Diubah). IDS pernah jadi tersangka proyek pengadaan buku 150 M (lihat: http://suaramerdeka.com/harian/0509/03/nas19.htm) . IDS disebut sebagai calon menteri baru, setelah 8 orang dicoret dari daftar calon berdasarkan rekomendasi KPK dan PPATK.

Saya tidak tahu bagaimana proses sesugguhnya seseorang dicalonkan  untuk jadi menteri di kabinet Jokowi. Saya kira semua tahu dan barangkali bosan dengan penyebutan “hak prerogatif presiden”. Betul, tapi proses pencalonan menteri melibatkan banyak pihak, dan realitasnya melibatkan banyak kepentingan. Ada titipan JK, akomodasi parpol, usulan pengusaha dll. Sungguh, ide Jokowi mengirim daftar calon ke KPK dan PPATK untuk diteliti adalah langkah tepat untuk memastikan integritas calon menteri. Tetapi jika seseorang sudah nyata-nyata pernah jadi tersangka, apakah tidak sebaiknya tersaring lebih dahulu oleh lingkar dalam Jokowi  sehingga langsung dicoret tanpa harus dipanggil ke Istana lalu namanya diserahkan kembali ke KPK untuk diteliti?

Pertanyaan yang mirip untuk petinggi Polri yang masuk bursa calon menteri padahal mempunyai rekening gendut ( http://nasional.kompas.com/read/2013/07/26/1414484/Komjen.Budi.Gunawan.Bantah.Punya.Rekening.Gendut ). Atau mantan menteri jaman SBY tapi masuk lagi bursa calon menteri karena kerabat JK, walaupun ia pernah diberhentkan jaman SBY karena diduga terindikasi terlibat korupsi ketika jadi komisioner KPU (http://news.detik.com/read/2007/05/07/155108/777308/10/ ).

Pengumuman kabinet terlambat dari jadwal yang direncanakan. Tidak apa-apa, karena berdasarkan UU Kementerian Negara pasal 16, Presiden mempunyai waktu maksimal 14 hari dalam menyusun kabinet.  Lebih baik terlambat karena kehati-hatian, daripada tergesa-gesa tetapi bermasalah dan jadi beban Presiden di kemudian hari. Hanya saja keterlambatan tidak perlu berlarut-larut jika orang yang nyata-nyata bermasalah dapat disaring lebih awal. Apakah ini pertanda adanya tarik-menarik kepentingan? Apakah ini pertanda ada masalah di lingkaran dalam? Semoga bukan. Tetapi satu hal yang patut direnungkan: dalam sejarah, musuh terbesar seorang pemimpin sering kali bukan orang luar, tetapi  orang-orang dalam lingkar kekuasaan dengan berbagai agenda dan kepentingannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline