Lihat ke Halaman Asli

Vena Melinda vs Ibu-ibu Pedagang Pasar Tradisional

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah seharian ini saya jalan-jalan  di pasar tradisional dan pulang dari pasar membaca berita di berita online mengenai Vena Melinda yang menuntut biaya hidup 40 juta dari suaminya membuat saya ingin membandingkan keduanya.

Semakin miris saja melihat gaya hidup wanita metropolis dan selebritis. Saya yakin kasus Vena Melinda sebenarnya merupakan cermin masyarakat kita yang semakin hedonis. Sehingga kebutuhan belanja keduniawian menjadi semakin besar. Biaya perawatan tubuh, wajah dan kulit. Biaya beli baju, tas, sepatu dan asessoris lainnya yang tidak akan pernah ada ujung puasnya. Membahas masalah ini akan menjadi semakin menarik karena satu kasus ini mungkin saja mewakili satu populasi masyarakat dengan gaya hidup, yang sama dengan Vena Melinda. Mungkin dengan angka yang lebih kecil dari 40 juta, atau bahkan lebih besar lagi. Tapi keberanian menuntut cerai dari suami dengan alasan tunjangan hidup yang tidak cukup, itulah yang harus digarisbawahi.

Sungguh berbeda seperti langit dan bumi bila kita membicarakan gaya  hidup Vena Melinda dengan gaya hidup ibu-ibu di pasar Tradisional. Memang tidak fair membandingkan hal tersebut, karena memang sangat berbeda bagai hitam dan putih.  Tapi Vena Melinda sebagai anggota DPR yang mewakili konstituen perempuan dan  ibu-ibu pedagang di pasar adalah sebagian dari konstituen tersebut, ada baiknya Mbak Vena seharusnya bercermin dari mereka.

Kondisi pasar pagi saat ini mungkin tidak sama dengan kondisi beberapa tahun yang lalu. Ada perbedaan yang sangat mencolok, karena sekarang ini hampir 80%  (mungkin lebih) pelaku transaksinya adalah ibu-ibu. Coba perhatikan, hampir semua penunggu bedak-bedak di pasar adalah ibu-ibu. Yang jualan di jalan-jalan / lorong-lorong pasar adalah ibu-ibu. Yang berjalan-jalan menawarkan barang kebanyakan juga ibu-ibu. Secara kasat mata saja sudah kelihatan berapa banyak ibu-ibu yang berjuang untuk keluarganya di pasar tersebut. Mereka dengan telaten melayani pelanggan, mengumpulkan rupiah demi rupiah margin yang dia dapatkan dari pagi sampai sore, atau bahkan dari malam sampai menjelang pagi subuh.

Dari sisi pembeli, kita juga bisa perhatikan banyak sekali ibu-ibu pedagang sayur yang kulakan untuk di-"ider"-kan lagi ke rumah-rumah. Ada juga ibu-ibu yang kulakan untuk dijual di warungnya. Belum lagi ibu-ibu rumah tangga yang ingin mendapatkan harga miring sehingga memilih untuk belanja di pasar daripada membeli di penjual sayur keliling. Semuanya berkumpul jadi satu di pasar tradisional.

Saya yakin ibu-ibu ini  meninggalkan rumah tidak untuk mencari eksistensi diri, tidak untuk melalaikan kewajiban sebagai ibu yang harus mengurus rumah tangga.  Baik pedagang maupun pembeli di pasar semuanya adalah pejuang keluarga. Mereka ingin mandiri, ingin membantu menopang ekonomi keluarga, ingin membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka adalah pejuang sejati karena untuk mendapatkan penghasilan yang cukup besar, mereka harus mengumpulkan dari setiap transaksi yang marginnya sangat kecil 100, 200 ... itupun harus diperjuangkan karena tidak sedikit ada yang menawar sehingga marginnya menjadi lebih kecil lagi.

So, apakah Vena Melinda masih bisa mengklaim bahwa dia mewakili perempuan Indonesia? Karena sebagian besar perempuan Indonesia adalah perempuan pejuang yang lebih banyak memikirkan anak, suami dan keluarganya dibanding dengan kesenangan dirinya sendiri. Perempuan Indonesia memang harus merawat diri, harus tampil cantik, tapi harus proporsional dan tidak sampai harus mengorbankan keuangan keluarganya. Jadi, seperti apakah seharusnya wakil rakyat yang mewakili perempuan?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline