Dramatis!
Yups. Satu kata yang patut diucapkan untuk kehadiran para Kompasianer pilihan di Bali kali ini. Setelah menempuh perjalanan yang luar biasa, akhirnya sampai juga 10 peserta di Hotel Courtyard by Marriott Seminyak. Perjuangan untuk bisa hadir di sini tentu ceritanya tak akan jauh berbeda kisah lika-liku perjalanan saya yang saya ceritakan sebelumnya. Ada bingung, resah, cemas, dan entah rasa apalagi yang dirasakan oleh mereka. Dua jempol deh untuk para sahabat yang dengan perjuangannya tersebut ikut berkontribusi positif bagi kemajuan wisata negeri ini.
Kompasiana bersama Indonesia Travel Kementerian Pariwisata mencoba untuk mengangkat kembali nama potensi wisata Indonesia. Ubud menjadi salah satu pilihan para Kompasiener kali ini. Sebagai salah satu pusat seni budaya di Pulau Bali, nama Ubud tak bisa dipisahkan sebagai ikon wisata Bali. Pun dengan berbagai cerita 'miring' tentang keberadaan industri wisata yang coba dijawab dengan hasil kerja positif.
Berbagai kelompok masyarakat yang terlibat aktif bagi pengembangan wisata Bali, khususnya Ubud tentu tak bisa dinafikan. Termasuk salah satunya adalah Sahadewa. Yayasan seni yang dirintis sejak tahun 1999 ini, mencoba untuk mengangkat eksistensi kesenian tari tradisional Bali. Seni yang merupakan bagian dari ritual bagi masyarakat adat yang coba dikenalkan kepada masyarakat luar. Tari Kecak, Tari Barong, Tari Pendet yang dikembangkan dalam beberapa kreasi, mampu menarik wisatawan domestik maupun manca untuk hadir di Bali, khususnya.
Beruntung, 10 Kompasianer diberikan kesempatan untuk mengenal lebih jauh keberadaan salah satu tari tersebut. Tari Kecak yang merupakan tari tradisional sakral dijaga kelestariannya. Dan berbagai upaya agar masyarakat adat Bali tidak merasa 'bosan', maka di tahun 1930-an ditambahkan kisah epos Ramayana dalam tarian tersebut. Variasi ini ternayata lebih mampu untuk diterima oleh masyarakat luar Bali. Ini semakin menambah daya tarik masyarakat luar, khususnya wisatawan untuk menikmatinya.
Menikmati dengan larut ke dalam kisah Rama, Sita, Rahwana, Hanuman, dan pemeran lain sebagai dramaturgi. Bagaimana sifat keangkaramurkaan yang meskipun memiliki kekuatan yang besar, akan mampu dikalahkan oleh kejujuran dan kebaikan. Pun demikian juga dengan drama yang disajikan oleh kelompok pertunjukkan Sahadewa. Dengan konsisten dan penuh dedikasi, semua anggota kelompok saling bahu membahu dalam rasa persaudaraan. Sehingga rampak pertunjukkan yang apik dapat dihaturkan kepada penonton yang dengan setia menunggu pertunjukkan dibuka mulai jam 18.30.
Pertunjukkan yang digelar selama 60 menit penuh mampu menghipnotis para penikmatnya. Tak kurang dari saya juga. Ada rasa penasaran yang menggelitik selama ini. Bagaimana sebenarnya mereka berkiprah dibalik panggung yang hingar-bingar dan megah. Bagaimana 80-100 orang mampu secara energik, rapi, rampak, apik, serta mampu menjaga ritme dengan baik selama 1 jam. Terlihat hampir tanpa cacat.
Maka mau tak mau, saya pun mencoba ikut larut dalam ritual persiapan yang para pemain lakukan. Ketakjuban saya pun muncul. Ada satu prinsip yang sangat mereka taati. Prinsip hidup dan prinsip kerja yang selama ini banyak diabaikan. Ketika pertunjukkan dimulai tepat pukul 18.30, maka 10 menit sebelum pertunjukkan, 80 orang personil Sahadewa itu pun telah siap. Siap yang sebenar-benarnya tentu saja.
[Proses metamorfosis 'Sita' yg menjadi salah satu pemain andalan.]
Meskipun para penari memiliki latar belakang profesi yang beragam, 'kewajiban' untuk tampil pada jam yang tepat menyatukan jiwa mereka. Bagaimana Ni Arini, pemain termuda yang berusia 14 tahun, harus merelakan waktu istirahatnya untuk menari. Bagi dia dan keluarganya, menjadi bagian penari Kecak (salah satu penari Sang Hyang Dedari) menari adalah salah satu pelajaran juga. Pelajaran untuk menghormati adat leluhur, sekaligus menjadikannya sebagai pewaris darah seni dari kedua orang tuanya.
[Rentanya usia, tak halangi semangat berkarya.]