Lihat ke Halaman Asli

Seri Gamelan Hidup VI

Diperbarui: 14 November 2016   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Budaya dan Keyakinan Ruhani

Padahal Elang sudah melibatkan Kalong dan Kampret untuk ikut merusak citra dan kegamangan Gajah pada keyakinannya. Sudah melakukan kamuflase dan tipuan-tipuan yang membuat Gajah kehilangan keyakinan. Tapi kenapa paduka klan misterius masih memerintahkan untuk menggarap dua hal itu agar pemnghancurannya paripurna.

Elang merasa sejauh ini memang dua hal itu yang akan ditumbangkan. Gajah boleh melakukan upacara-upacara keyakinannya karena itu urusan kebiasaan turun-temurun. Tapi Gajah harus berpikir dengan cara Elang, harus berpakaian dengan cara Elang, harus memakan makanan sesuai anjuran Elang, dan harus memenuhi kebutuhan hidup seperti kebutuhan hidup para Elang. Ukuran bahagia dan tidak bahagia harus sesuai dengan aturan ukuran Elang.

Bukankah modul dan model ini yang sejak lama sudah dilancarkan? Kenapa paduka rajanya masih memberikan usulan yang tak benar-benar baru itu. Persoalannya Elang tak pernah berani bertanya-jawab panjang karena takut salah dan didamprat habis. Mau tidak mau ia harus mengiyakan dan mulai memperketat konsentrasinya di bidang budaya dan keyakinan ruhani itu.

Dengan lebih serius Elang mengidentifikasi kebudayaan dan keyakinan mayoritas para Gajah. Mengidentifikasi sekolah-sekolah tradisional yang mempertebal keyakinan ruhani para Gajah. Sekolah-sekolah tradisional perlu dimodernkan termasuk kurikulumnya. Namun agar anjuran itu sukses dan tampak sangat simpatik, pihak Elang memberikan bantuan dana tidak sedikit yang sesungguhnya diambil secuil dari kekayaan para Gajah sendiri. Segala bentuk perkumpulan dan pertemuan yang berbicara tentang kebudayaan dan keyakinan disusupi, kemudian dirangkul dan diberikan dana untuk berkembang. Mereka pasti akan berkembang sendiri-sendiri dan pasti akan mengalami perkembangan yang berbeda dari kelompok yang lain, dan perbedaan ini akan berpotensi terjadi gesekan dan jika gesekan tidak terjadi harus dikipas-kipasi. Jika sudah terjadi gesekan pasti akan mengakibatkan mandeknya proses pertumbuhan ruhani karena sibuk adu ketololan.

Dengan mengutus Kampret dan Kalong untuk menyamar ke negeri Gajah untuk menjadi pihak yang arif, bijaksana, dan berilmu, makin hari makin membuat kualitas keyakinan para Gajah hanya sekelas Kampret dan Kalong. Tak berani tampil di siang hari dan menggerogoti buah-buahan di malam hari. Para Kampret dan Kalong selalu menganjurkan kepada para Gajah untuk menjadi Onta atau Kambing yang diberkati susunya dan mampu bertahan di tengah gurun pasir yang tandus. Jangan puas menjadi Gajah yang mungkin besar tapi kemana-mana pergi malah terlalu sibuk mengangkat berat badan. 

Anjuran-anjuran tidak mutu Kampret ini anehnya dipercaya dan diikuti para Gajah yang sudah lelah dan tertekan persoalan hidup. Nasehat-nasehat Kampret seakan-akan merupakan jawaban jitu dan pengingat kepada mereka bahwa hidup harus kembali mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengerti caranya. Persoalannya Gajah yang terlanjur punya kebudayaan bijaksana ini menerima saja cara-cara yang dianjurkan Kampret. Gajah-gajah tak menimbang kemungkinan cara yang bisa mereka temukan sendiri.

Elang juga mengajak Naga untuk menyusupkan kebudayaan tandingan yang hadir atas dasar hukum pluralitas. Gajah menjadi semakin sibuk. Tapi anehnya komunitas Gajah yang dihancurkan berkali-kali ini seakan-akan punya nyawa sejuta. Seakan-akan sudah sekarat, tinggal sedikit lagi mati. Ternyata klan Gajah nggak mati-mati. Kelihatannya sekarat terus, tampak sudah mau mati, tapi masih hidup terus.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline