Lihat ke Halaman Asli

Membangun Masjid

Diperbarui: 28 Oktober 2016   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suatu malam, lantunan syukur dan kumandang takbir mewarnai keharuan warga yang tengah merayakan terselesaikannya bangunan suci. Yakni sebuah Masjid, sebuah rumah Allah di kampung mereka. Mereka merasa malam ini adalah malam spesial yang sejak lama ditunggu-tunggu.

Sekitar setahun yang lalu, mereka semua sepakat bergandengan tangan dan bergotong-royong meniatkan diri mewujudkan impian. Impian untuk semakin dipeluk dengan Kasih Sayang Allah secara lebih intim. Impian untuk bisa dibelai setiap saat. Impian untuk merasa menjadi bagian dari pekarangan Rumah Allah Dzat Yang Maha Suci dan Luhur.Kampung kecil ini akan merasa lebih berarti, berada dalam santunanNya. Kebanggaan dan pengharapan bahwa Allah mempercayakan kepada kampung itu menjadi salah satu wilayah curahan Rahmat dan HidayahNya. Sebab tiada yang lebih berarti di dalam kehidupan ini selain bermandikan pendaran Cahaya CintaNya.

Di halaman masjid, semua warga yang merayakan terwujudnya masjid itu saling bermanja-manja dalam luapan emosi cinta dan syukur. Laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua. Mereka terhanyut dalam keharuan tiada tara, kebahagiaan tiada terkira. Kumandang takbir dan lantunan beruntai-untai kata syukur bersahut-sahutan. Tak sedikit air mata tertumpah. Namun tiba-tiba, seseorang dengan kedatangannya yang terlambat, ikut bergabung dalam kerumunan itu. Di pundak kanannya terpanggul sebuah kapak besar yang gagah, tajam berkilat-kilat. Dengan perangainya yang demikian aneh, kontan dia menarik perhatian seluruh warga. Serta-merta seluruh ungkapan dan luapan syukur itu terhenti tiba-tiba. Pandangan mereka tertuju pada langkah dan lenggang pasti orang ini. Entah apa yang merasuki orang ini, dengan dingin dan penuh kemantapan dia mendekati masjid. Dia ayunkan kapak besarnya itu ke arah tiang masjid dengan garang. Satu per satu tiang tumbang dan masjid yang baru saja selesai dibangun itu ambruk berdebum di tanah, pandangan kemegahan tiba-tiba berubah menjadi tumpukan runtuhan yang sama sekali tanpa kemegahan. Dan kekhidmatan berubah menjadi kemarahan tanpa hingga.

Orang-orang sejak tadi terhenyak dan tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah, sejak awal yang bisa mereka lakukan hanyalah rasa penasaran kepada orang ini, berlanjut ketidakpercayaan terhadap segala tindakannya. Mulut mereka tercekat, lidah kelu, mata terbelalak, dan tiba-tiba mereka terlambat sadar bahwa masjid mereka baru saja hancur oleh seorang warganya sendiri.

Pada saat mereka menyadari, orang itu sudah hendak pergi dengan lenggang dan langkah tenang nan pasti yang sama persis dengan kedatangannya. Para warga segera mencegat dan berkerumun hendak memukuli orang ini. Orang ini berhenti kemudian berkata,

“Apakah dengan memukuliku hingga mati sekalipun kalian akan mendapati masjid kalian kembali seperti semula?” kata orang itu

“Kurang ajar, kamu menghina rumah Allah!!” kata salah seorang warga

“Tidak aku justru sedang takut Allah dihina”

“Apa maksudmu? apa kamu tidak menyadari dengan apa yang kamu lakukan, sudah sepantasnya kamu diganjar dengan hukuman”

“Kalaulah ada yang menghukumku, itu adalah Allah, sebab aku sangat takut bila bukan Dia, segala hukuman yang kalian ciptakan suatu hari hanya akan membuatmu merasa bersalah, berdosa menghantui seumur hidup, dan menyesal hingga terbawa ke dalam kubur” kata orang itu dengan penuh yakin

“Kalau begitu sekarang katakan apa maksudmu menghancurkan Rumah Suci ini?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline