Pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di seluruh belahan dunia ini tentunya membuat beberapa sektor kelabakan, salah satunya yang menjadi sorotan utama ialah sebagian besar kegiatan perekonomian di banyak negara yang kacau balau, tidak terkecuali di Indonesia. Sejak diumumkannya masuknya kasus COVID-19 ke Indonesia, sektor perekonomian di Indonesia mulai merasakan dampaknya. Dengan diberlakukannya pembatasan sosial skala besar, serta kegiatan Work From Home (WFH), dan beberapa kegiatan yang dianjurkan untuk dijalankan di rumah saja, membuat beberapa perdagangan menemui hambatannya. Dengan kegiatan yang dianjurkan dilakukan di rumah saja, membuat masyarakat mengurangi kegiatannya di luar rumah terutama dalam kegiatan jual beli. Tentu saja hal ini membuat sektor perdagangan kalang kabut karena hasil penjualan mereka yang turun drastis yang berakibat pada pendapatan mereka yang turun drastis pula.
Penurunan penghasilan ini paling terasa oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Hal tersebut berdampak pada ketidakmampuan para pelaku UMKM yang mempunyai kewajiban untuk membayar angsuran hutang dari bank maupun lembaga keuangan non bank, hal ini membuat mereka kesulitan untuk membayar kewajibannya setiap bulan. Dengan keterlambatan pembayaran kewajiban oleh para debitur bank, menyebabkan perputaran dana di bank juga terhambat, hal ini dapat menyebabkan naiknya angka Non Performing Loan (NPL) bank. Menurut Deasy Dwihandayani (2017) Non Performing Loan (NPL) adalah salah satu indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank, karena NPL yang tinggi adalah indikator gagalnya bank dalam mengelola bisnis antara lain timbul masalah likuiditas (ketidakmampuan membayar pihak ketiga), rentabilitas (hutang tidak dapat ditagih), dan solvabilitas (modal berkurang).
OJK mencatat terdapat kenaikan yang signifikan pada prosentase NPL perbankan Indonesia. Dari tingkat NPL sebesar 2,53% pada bulan Desember 2019, terjadi kenaikan mencapai 2,89% di bulan April 2020 di mana awal mula kasus COVID-19 di Indonesia terkonfirmasi. Hingga bulan Oktober 2020 pun prosentase NPL tetap mengalami peningkatan hingga 3,15%.
Melihat situasi ini, OJK mengeluarkan kebijakan tentang restrukturisasi kredit pembiayaan terkait dampak COVID-19. Kebijakan ini meliputi penurunan suku bunga; perpanjangan jangka waktu; pengurangan tunggakan pokok; pengurangan tunggakan bunga; penambahan fasilitas kredit/pembiayaan; dan/atau konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara.
Kebijakan OJK dalam menjawab dampak dari COVID-19 ini tertuang dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Kebijakan countercyclical merupakan kebijakan yang melawan arus siklus bisnis tersebut, hal ini berarti pada saat resesi, pemerintah menerapkan kebijakan ekspansif berupa pelonggaran fiskal dan moneter (Kaminsky, Reinhart dan Vegh, 2004).
Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kiryanto dalam money.kompas.com mengatakan, kebijakan stimulus dari OJK sangat berguna untuk meringankan beban bank dan perusahaan pembiayaan sebagai kreditur maupun untuk pengusaha ataupun masyarakat lain sebagai debitur di masa sulit seperti sekarang. Melalui relaksasi ini, harapannya sektor jasa keuangan dan dunia usaha mampu bertahan sambil menunggu tuntasnya tugas pemerintah menghalau wabah COVID-19 secepatnya.
Kabar terbaru, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini diperpanjang hingga Maret 2022 yang awalnya hanya sampai di bulan Maret 2021. Kebijakan OJK untuk memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit ini tertulis dalam POJK No.11/POJK.03/2020. Diperpanjangnya kebijakan ini dikarenakan karena dampak dari COVID-19 terhadap sektor perekonomian masih dirasakan kepada pelaku kegiatan di sektor ekonomi. Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Anto Prabowo mengatakan dalam jawapos.com bahwa stimulus pada sektor perbankan ini dikeluarkan setelah mencermati perkembangan dampak ekonomi terkait penyebaran COVID-19 yang masih berlanjut secara global maupun domestik dan diperkirakan akan berdampak terhadap kinerja dan kapasitas debitur serta meningkatkan risiko kredit perbankan.
Lalu, apakah perpanjangan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini merupakan kabar gembira bagi para debitur? Nampaknya, untuk mendapat relaksasi kredit, debitur tidak secara otomatis mendapatkannya. Sesuai yang disampaikan OJK, cara atau langkah awal agar debitur mendapatkan relaksasi kredit adalah dengan mengajukan permohonan restrukturisasi yang dilengkapi dengan data yang diminta bank/leasing yang dapat disampaikan secara online (email/website yang ditetapkan oleh bank/leasing) tanpa harus datang bertatap muka. Jadi, untuk mendapatkan relaksasi kredit ini tetap bergantung pada kebijakan masing-masing bank dimana bank masih harus melakukan assessment terhadap debitur. Hal ini dilakukan karena pelaksanaan restrukturisasi ini diprioritaskan untuk debitur yang memiliki itikad baik dan terdampak COVID-19.
Bisa dilihat juga bahwa dengan adanya kebijakan yang simpang siur tentang tata cara untuk mendapatkan relaksasi kredit, sepertinya menyebabkan beberapa debitur mengira mereka akan secara otomatis mendapatkan relaksasi kredit ini, hal ini menyebabkan keterlambatan pembayaran kewajiban mereka karena tidak tahu jika para debitur diharuskan untuk membuat permohonan secara mandiri terlebih dahulu. Hal-hal seperti ini yang seharusnya diperhatikan oleh pemangku kebijakan agar informasi yang diterima masyarakat tidak simpang siur terlebih di tengah kondisi yang serba panik seperti sekarang ini.
Kebijakan untuk tidak secara otomatis memberikan relaksasi kredit kepada debitur sebenarnya sudah tepat. Karena dengan adanya kebijakan ini bisa memicu debitur-debitur "nakal" yang memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan relaksasi kredit padahal keadaan beberapa debitur tidak perlu diberi kebijakan ini, artinya masih ada beberapa debitur yang seharusnya masih bisa membayar kewajibannya dengan normal karena tidak terdampak COVID-19. Jika ada debitur "nakal" yang berhasil mencuri kesempatan ini tentu saja akan berpengaruh kepada operasional bank atau lembaga keunagan dimana kenaikan angka NPL yang tajam tidak akan bisa dihindari.
Menurut mantan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dalam money.kompas.com, perbankan akan menanggung beban yang besar jika seluruh debitur menangguhkan cicilan utangnya selama satu tahun. Apalagi, sekitar 30 persen kredit perbankan merupakan kredit konsumsi, termasuk KPR. Sementara sekitar 15 persen hingga 20 persen di antaranya adalah kredit UMKM. Pun Mirza mengumpamakan perputaran kredit perbankan dan kredit perusahaan pembiayaan layaknya darah di tubuh manusia. Artinya, tanpa aliran kredit maka perekonomian akan berhenti dan tidak berjalan semestinya.