Lihat ke Halaman Asli

Majawati

Wiraswasta

Apa Tepat M. Arsad Dibela atas Dasar Wong Cilik?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Apa Tepat M. Arsad Dibela Atas Dasar Wong Cilik?

Oleh Majawati Oen

Menyaksikan acara ILC semalam di TV One, saya sampai bingung dengan pola pikir sebagian narasumber dalam kasus Tukang Sate yang menghina Jokowi dan Ibu Mega melalui rekayasa foto yang diupload melalui sosial media. Apalagi terlontar ucapan bahwa wong cilik harus dibela. Pernyataan Fadli Zon selaku wakil ketua DPR yang menunjukkan empatinya dalam pertemuan di kantor polisi justru dibantah oleh tim kuasa hukum Si Tukang Sate yang menyanggah Fadli Zon bahwa urusan ini sudah mulai dipolitisasi, dimana jangan sampai gajah berantem dengan gajah dan semut jadi korbannya. Langsung saja membuat mereka berdua adu argumen. Sampai kita yang nonton di rumah bingung mau mendengarkan siapa? Tidak sampai di situ setelah jedah iklan, kembali Henri Yosodiningrat membantah Fadli Zon, jadilah mereka berdua adu debat lagi. Kembali penonton harus adu kuping. Mendengarkan 2 orang bicara bersamaan di televisi membuat penonton harus mendengarkan ekstra cermat dari biasanya lho.....!

Inilah fenomena yang sekarang marak terjadi di Indonesia. Ketika masalah hukum jadi merembet ke mana-mana dan bisa dibelokkan sesuai dengan arus yang membawanya. Benar dan salah tidak lagi menjadi patokan. Masalah kecilpun bisa terblow-up luar biasa, sampai tidak ada jalan keluarnya ataupun selesai dengan cara-cara yang naif bahkan mencengangkan. Itulah kondisi zaman ini.

Perkembangan demokrasi di Indonesia yang didukung oleh kemajuan teknologi membuat setiap orang boleh menyuarakan isi hatinya dalam bentuk ucapan langsung, melalui sosial media dalam bentuk tulisan, komentar, gambar, video dan lain-lain secara bebas. Termasuk saya sendiri saat ini yang sedang mengulas kasus tukang sate. Lalu lintas menyuarakan isi hati ini tak kalah padatnya dengan lalu lintas jalanan. Kalau internet lagi ngadat, wah riuh sudah. Ada positif dan negatifnya, tetapi tanpa kontrol diri sudah jelas banyak negatifnya. Apa negara sanggup mengawasi semua itu? Ya sulit, diri sendirilah yang semestinya bisa mengontrol itu. Namun negara wajib menginformasikan undang-undangnya secara meluas dan kalau perlu berkali-kali disebar luaskan ke masyarakat agar tata aturan dalam bersosial media diketahui, dipahami dan wajib ditaati oleh warganya. Kasus tukang sate ini juga salah satu bentuk butanya masyarakat terutama anak-anak muda akan UU ITE. Jangan hanya kalau ada kasus diurus dan diberitakan. Masyarakat jadi tahunya hanya sepotong-sepotong. Oh, kalau ini melanggar, yang itu.... ?? Mereka tak banyak tahu. Pada kasus M. Arsad yang mengaku itu hanya sebagai keisengan belaka ternyata adalah bentuk penghinaan, kepada kepala negara lagi? Terbelalak dia..... Tak menyangka bahwa perbuatannya akan berbuntut seperti ini.

Permasalahannya, kalau dia tidak sengaja, tidak bermaksud menghina presiden apa lalu harus dimaafkan dan mungkin akan dibebaskan? Apalagi akhir-akhir ini dengan embel-embel “wong cilik” harus dibela? Disamping itu saat ini media juga punya pengaruh besar menggiring opini melalui pemberitaan-pemberitaan yang kurang representatif dan lebih mengedepankan faktor menyentuh emosi pemirsanya. Sejak kasus ini terangkat, hampir semua televisi menyiarkan berita dan menayangkan reaksi Ibu M. Arsad yang nangis-nangis menghiba mohon ampun kepada pemirsa dan presiden atas perbuatan anaknya. Kita boleh kasihan kepada ibunya, karena ternyata M. Arsad termasuk anak yang membiayai keluarga, apalagi dengan kondisi perekonomian yang sederhana. Tetapi apa yang dilakukan M. Arsad bukan berarti menjadi terhapuskan. Bukan berarti karena dia wong cilik, lalu hukum bisa dibelokkan. Logika dari mana itu? Benar atau salah itu hakiki, apalagi sudah ada undang-undangnya. Apa tepat karena alasan wong cilik lalu atas dasar belas kasihan hukum jadi tidak berlaku? Siapapun yang melakukan kesalahan harus menjalani konsekuensinya secara hukum yang berlaku. Kita harus mendukung aparat untuk menegakkan hukum, bukan sebaliknya.

Ada yang berpendapat pula, kalau M. Arsad dihukum, maka itu tidak adil karena juga banyak akun-akun yang melakukan penghinaan yang lainnya. Dari pernyataan Pak Boy Rafli dan kepolisian ternyata pengaduan kasus penghinaan di sosmed ini ratusan setiap tahunnya dan ada yang ditahan bahkan sampai dipenjara. Jadi jangan terpaku dengan kasus M. Arsad saja, bahkan seorang ibu rumah tangga pun ditahan karena menghina bos suaminya. Kalau memang pasal-pasal hukumnya ada ya harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini juga menjadi pembelajaran bagi kita semua agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam bersosial media. Jangan asal menyuarakan isi hati, tetapi menghina dan merusak nama baik orang lain, apalagi mempengaruhi publik dengan pendapat-pendapat yang kurang dipertanggung-jawabkan. Kita bebas menyuarakan pendapat, tetapi jangan sampai kebablasan, tetap harus dalam koridor tata krama dan punya manfaat bagi orang lain.

Saya setuju Ibu dan Ayah M. Arsad meminta ketemu dengan Bapak Jokowi untuk meminta maaf atas kelalaian anaknya. Saya juga menghormati kalau Pak Jokowi bersedia mengundang mereka ke Istana serta memaafkan. Tetapi kurang tepat kalau orang tua M. Arsad minta anaknya dibebaskan. Masak sudah terbukti salah minta dibebaskan. Jokowi juga harus berhenti sampai memaafkan saja dan tidak turut campur dalam proses hukum atas M. Arsad. Wewenang penegak hukum dan jajarannya harus dihormati, itulah pula cara kepala negara mendidik bangsa ini dalam memahami dan mentaati hukum yang berlaku. Semua orang, tanpa pandang bulu harus taat hukum. Tidak boleh ada intervensi atas dasar hal-hal yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. Jokowi yang mencetuskan perlunya revolusi mental bagi bangsa Indonesia, ini adalah salah satu kasus yang menyangkut pembenahan mental bangsa. Jangan sampai membelokkan benar atau salah atas dasar-dasar yang salah. Akibatnya sudah salah, makin kaprah.

Kalau sampai M. Arsad bebas, berarti hukum telah diinjak-injak di bumi Indonesia. Kepolisian akan kesulitan ke depannya dalam menegakkan keadilan, wibawa kepolisian dan jajaran hukum berarti bisa diotak-atik oleh orang-orang yang punya kekuasaan. Kepentingan politik telah masuk ke ranah hukum. Semua pihak bisa mempengaruhi dan mengubah aturan yang berlaku. Apa jadinya? Negara akan kacau balau. Saya mendukung Polri tetap memberlakukan aturan yang berlaku sesuai undang-undang kepada M. Arsad, sekaligus kasus ini memberi pembelajaran kepada seluruh penduduk Indonesia agar lebih bertanggung jawab dan santun dalam bersosial media. Kalau memang aturannya harus ditahan, ya ditahan. Kalau aturannya harus menjalani sidang, ya disidangkan.

Mengambil hikmah dari kasus M. Arsad, saya mengusulkan kalau Undang-undang ITE perlu mulai dipublikasikan dan disebarluarkan ke masyarakat. Masyarakat kita sudah sangat punya ketergantungan pada sosial media, terutama kalangan mudanya. Bahkan anak-anak pun sudah punya akun sosmed. Banyak dari mereka yang sangat kreatif, tetapi belum paham akan batasan-batasan hukumnya. Belum tentu juga orang tuanya bisa mengawasinya. Informasi Undang-undang ITE mungkin juga perlu disosialisasikan ke sekolah-sekolah dan kampus untuk memberikan edukasi dan wawasan tentang bersosial media yang sehat, bermanfaat dan tidak menjerumuskan mereka pada hal-hal yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline