Tulisan ini ingin menanggapi editorial Panditfootball dengan judul "Konflik Kepentingan dan Penundaan Laga Persija vs Persib."
***
Sebagai opini media, tulisan ini kiranya bisa menjadi tulisan tandingan, untuk menghidupkan khazanah perdebatan produktif sepak bola nasional. Yang pertama, mari tanggalkan baju tim kesukaan (misal Persija dan Persib), agar tulisan ini bisa dipahami dengan kepala dingin tanpa membabi buta.
Pertama, judul editorial Panditfootball terlalu provokatif; dengan mengedepankan persepsi duga-duga. Sepak bola sehat, terutama bagi media massa, selayaknya dibangun dengan rasa skepstis bukan apatis. Judul yang dibangun Panditfootball mengedepankan kecurigaan tanpa dasar kuat. Sepak bola nasional dipandang dengan apatis.
Memang, dalam naskah editorial tersebut dijelaskan adanya orang-orang berkepentingan, yakni PSSI, PT Liga Indonesia Baru, Persija, dan Persib, yang terlibat dalam pembinaan Persija dan Persib. Tetapi, keberadaan Joko Driyono, Tigorshalom Boboy, Komjen Pol Syafruddin, dan Glen Sugita, sebagaimana ditulis Panditfootball dalam naskahnya, tak bisa menyederhanakan masalah.
Potensi konflik kepentingan? Ya. Itu mungkin saja terjadi. Namun, ada azas praduga yang tidak seharusnya dipolarisasi media. Persepsi miring di akar rumput, bisa semakin menemukan kebenarannya, bila media ikut memantik api dalam sekam. Mungkin persepsi media tak sampai seperti menyiram bensin dalam percik api, tetapi persepsi sembrono media bisa memantik "perang opini" berujung pertikaian. Dua kubu beda pemikiran akhirnya menemukan pembenarannya.
Kedua, bagian pertama tulisan _yang ditandai dengan tanda bintang_ menerangkan titik persoalan dengan bijak. Aturan main dan kondisi faktual persoalan penundaan laga Persija vs Persib dideskripsikan dengan sederhana dan mengena. Namun ada salah satu rangkaian kalimat yang tidak bisa dicerna tanpa mengedepankan istilah hegemoni.
"Hari Buruh (1 Mei) dan laga Persija vs Persib (28 Mei) adalah agenda yang sudah ada sejak jauh hari. Artinya, sejak awal, seharusnya, pihak PT LIB yang membuat jadwal mengetahui potensi "bentrok" seperti yang terjadi sekarang."
Kalimat ini sepintas terdengar benar sebenar-benarnya. Namun, ada dasar dalam setiap peristiwa pengamanan; situasi, kondisi, toleransi, pantauan, dan jangkauan. Artinya, memang PT LIB sebagai operator lalai atau alfa dengan fakta setiap 1 Mei ada operasi besar dari kepolisian, yang itu memunculkan situasi tak kondusif untuk sebuah pertandingan besar, yang menyedot banyak massa. Bagaimana kondisi terkini Hari Buruh tahun ini? Itu yang tak diperjelas.
Ketiga, kembali muncul kalimat tanpa dasar cerdas, sebagai sebuah editorial, sebab editorial bukan sekedar opini, editorial mencerminkan sikap media dan bukan pribadi.
"Pertama, untuk memperlihatkan wibawa dan kemampuan aparat keamanan untuk menangani massa. Toh antara 28 April dan 1 Mei bukanlah tanggal yang persis berhimpitan. Ada jeda yang, walaupun tidak luas, namun sebetulnya cukup memadai."