Lihat ke Halaman Asli

Abdul Susila

Fanatik timnas Indonesia, pengagum Persija, pecinta sepak bola nasional

Menakar Filosofi ke Barcelona

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tim Nasional U-19 / bola.kompas.com

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Tim Nasional U-19 / bola.kompas.com"][/caption]

Tim Nasional U-19 Indonesia akan bertempur di ajang Piala AFC U-19 di Myanmar Oktober nanti. Tapi mengapa mereka melakukan TC di Spanyol? Bukankah suhu udara, karakter dan banyak lagi lainnya perbedaan antara Spanyol dan Myanmar. Apakah ini hanya program pelampiasan atas kegagalan mereka tampil di COTIF, Valencia, Spanyol, Agustus lalu? Berikut sedikit alasannya logisnya.

Mereka menamakan diri Garuda Jaya, maka selanjutnya sebut saja mereka Garuda Jaya. Mereka ini adalah tim, sebuah tim sepak bola yang berasal dari negeriku Indonesia. Meski hanya tim usia muda, mereka inilah yang telah membayar puasa gelar bangsa besar ini dari gelar juara sepakbola di pentas internasional selam hampir 22 tahun.

Garuda Jaya sendiri meraih prestasi pertamanya saat merengkuh gelar juara Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo, di Stadion Gelora Delta Sidoarjo. Tak hanya sampai di situ, tim ini kemudian mampu lolos ke turnamen Piala AFC U-19 2014 dengan mengalahkan Korea Selatan. Tim yang dianggap sepak bolanya jauh lebih berkembang dari Indonesia.

Maka itu, wajar kiranya jika Garuda Jaya dielu-elukan dan dibanggakan. Mereka kembali menumbuhkan sejumput harapan di benak masyarakat akan masa jaya sepak bola Indonesia. Dan yang paling menonjol, tim Garuda Jaya ini menampilkan pola permainan sepak bola yang tak biasa untuk sepak bola Indonesia. Mereka bermain layaknya Barcelona maupun Tim Nasional Spanyol dengan filosofi tiki-taka.

Pelatih Garuda Jaya, Indra Sjafri, menampik kalau pola yang mereka gunakan meniru Barcelona maupun Spanyol. Bagi Indra, pola permainan yang ia gunakan adalah murni pola sepak bola Indonesia, di mana permainan mengandalkan permainan sayap. Formasi 4-3-3 menjadi pilihan Indra atas gaya baku Indonesia.

Sayangnya, tipikal tiki-taka sudah tak populer lagi. Barcelona dengan gaya umpan-umpan pendeknya sudah tidak bisa meraih prestasi lagi dan Spanyol juga begitu di pentas Piala Dunia. Korelasinya, dengan gaya yang sama Garuda Jaya pun mulai kehilangan magnetnya. Turnamen Hassanal Bolqiah Trophy 2014 di Brunei Darussalam jadi bukti gaya Garuda Jaya sudah tak berbahaya lagi.

Garuda Jaya dalam waktu dekat ini akan bertolak ke Spanyol untuk melakukan pamusatan latihan. Hingga kini belum diketahui di mana Garuda Jaya akan melakukan pemusatan latihan. Federasi sepakbola Indonesia maupun Indra Sjafri sama-sama merahasiakan lokasi pemusatan latihan tersebut.

Akan ke Barcelona mereka melakukan menempa diri. Itu pikir saya. Alasannya, di sana akan banyak ilmu pengetahuan soal sepak bola yang bisa mereka dapatkan. Apalagi filosofi tiki-tika yang lahir di Barcelona punya kesamaan gaya dengan Garuda Jaya. Memantapkan atau mematangkan gaya tiki-taka atau pepepa _sebagaimana istilah Indra Sjafri_ di Barcelona sekiranya jadi langkah yang paling tepat.

Selain berlatih seperti biasanya dan melakukan uji coba, mungkin jajaran pelatih Garuda Jaya bisa sedikit berpelesir atau berkunjung ke markas La Massia. Markas pembinaan pesepak bola usia muda Barcelona. Program pelatihan atau sport science dari Barcelona mungkin bisa dicuri untuk dipelajari dan diaplikasikan. Bukan untuk ditiru melainkan untuk bahan kajian dan bisa dipadu padankan.

Terus soal temperatur atau suhu udara. Saya memang belum pernah kesana. Barcelona, menurut Wikipedia, pada bulan Juni, Juli, Agustus, September hingga Oktober merupakan musim panas. Musim panas tertinggi di Barcelona jatuh pada bulan Agutus dengan tingkat suhu mencapai 25-31 derajat celcius. Suhu yang biasa terjadi di Indonesia. Barcelona sendiri adalah kota di pinggir pantai. Begitu kira-kira.

Nah Myanmar, temperatur di negara yang baru saja membuka diri dari kungkungan junta militer ini bersuhu tak jauh berbeda dengan Indonesia. Yangon, tempat laga Garuda Jaya akan melakoni dua laga adalah kota dekat pantai. Cuaca di sini cukup panas yang maksimal mencapai 32 derajat celcius. Sedang Nay Pyi Taw, kota lain tempat laga Garuda Jaya digelar cukup dingin. Pada bulan Oktober, cuaca Nay Pyi Taw tak begitu dingin. Puncak suhu dingin di sana terjadi pada Desember dan itu pun hanya malam hari. Siang hari tak jauh berbeda dengan Indonesia.

Lantas adakah masalah dengan cuaca ini? Saya kira tidak

Sebaliknya, perjalanan Garuda Jaya ke negeri Matador itu akan memberi banyak pelajaran. Barcelona mungkin bukan pilihan yang akan ditetapkan federasi sepak bola Indonesia. Tapi siapa yang tahu jika kemudian benar.

Barcelona telah melahirkan tiki-taka dan pepepa kiranya tak salah jika mencari padanan katanya di sana. Garuda Jaya harus memupuk mental juaranya di sana. Psikologis tunduk pada negara lainnya. Garuda Jaya bukan sekedar nama. Ini doa. Semoga target melaju ke Piala Dunia bisa tercapai nantinya. Semoga. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline