Lihat ke Halaman Asli

Suci Maitra Maharani

Tidak suka kopi

Bunga-bunga Ibu

Diperbarui: 29 Desember 2016   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: wilamia.deviantart.com

Ibu tersenyum dalam airmata, tubuhnya dihujani bunga-bunga. Tangan kanan Ibu terjulur mencoba meraihku, namun tak pernah sampai. Aku tak mendengar apapun, tapi dengan mudah kupahami bibir Ibu yang bergerak. “Bunga Aysi” bisiknya.

Seminggu lalu tepatnya Ibu datang dalam mimpi. Membuatku mau tak mau mengingat kembali hari itu, meski nyaris sepertiga abad kuhabiskan waktu berperang melawan semuanya dan berlaku seolah aku benar-benar lupa. 

***

Tidak mudah menjadi anak Ibu, setidaknya bagiku yang tak suka bunga.

Barangkali Ibu pernah merasa gagal sebab tuan putri yang dibalutnya dengan gaun cantik -bahkan sejak belum mampu melafal panggilan padanya - kelak tumbuh menjadi brengsek ingusan yang keras kepala dan cenderung berani melawan, sulit terlepas dari selera-selera maskulin, dan jauh dari tampilan cantik manis.

“Bunga ini bunga paling unik bagi Ibu, Ays.” tangan Ibu terampil merapikan daun-daun kering kuning dari tangkai tua yang membusuk. Sedang aku tampak begitu bodoh mengekorkan mataku yang sudah teramat bosan pada Ibu yang terus panjang lebar bercerita tentang bunga uniknya. Aku sendiri samasekali buta pada unik yang Ibu maksud.

“Satu-satunya bunga tak berbunga, tapi tetap cantik.” tambahnya. Sungguh, awalnya ketika Ibu membawa salah satu titisan Adiantium itu dalam polybag kecil dulu, aku mengira itu adalah tanaman seledri jenis baru. Kenapa berepot ria pakai polybag, bukankah seledri itu hydrofit? tanyaku. Ibu malah melirikku sambil tertawa. Lidahmu bisa lecet kalau makan seledri jenis ini, katanya.

Memang, suplir itu tampak sederhana, berbeda dari bunga-bunga Ibu yang lainnya. Jangankan dibanding mawar yang memang feminim sekali membawa mahkota cantik berlapis-lapis, atau pada mirabilis jalapa yang sederhana namun begitu riuh dengan corong mahkota kecil-kecilnya, pada melati yang amat simpel dan bersahaja pun suplir kalah gemerlap. Ia hanya merimbun daun, hijau yang kadang gemerisik kala disentuh angin.

“Suka?” tanya Ibu yang memperhatikan tanganku memainkan daun suplir. Seperti maling yang tepergok, tanganku lekas kembali sembunyi di balik jaket. Aku menggeleng. Ibu menghela napas.  

Aku seringkali berpikir, tidakkah Ibu lelah membujukku menyukai bunga? Jelas-jelas begitu tampak dari seluruh gelagatku bahwa jika sedang di rumah aku lebih suka diam di kamar bergumul dengan buku-buku atau komputerku, dibanding memperhatikan tunas-tunas yang tumbuh dari setiap ujung tangkai, lalu berhitung berapa banyak bunga yang mekar dalam seminggu. Tapi tanda-tanda kelelahan itu tak ada, Ibu malah terus gencar mencecar, menarik tanganku setiap kali ia menanam koleksi baru.

“Kita tanam amarilis mengelilingi pekarangan depan, Ays. Nanti dia akan tumbuh sebagai pagar hijau yang cantik dengan bunga merah muda.” tanpa basa basi Ibu meletakkan beberapa rumpun amarilis kecil di tanganku dan segera membagi tugas untuk menanam. Aku yakin, masam mukaku menyampaikan pesan pada Ibu bahwa direnggut paksa dari kekhusyukan membaca adalah suatu yang amat menyebalkan. Tapi alih-alih peduli, Ibu malah terus mendongeng tentang amirilis dengan penuh ceria padahal bunga itu dalam setahun hanya akan mekar sekali saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline