Pada pagi yang patah kau bangun, jendelamu merah sembap sisa banjir yang meluap semalam.
Jendela itu, aku mengaguminya tanpa ampun. Di baliknya semesta membentang seluas tak kira, aku bisa bernapas lega di sana, bisa merentang tangan semaunya, bisa merdeka sebebasnya. Dari jendela itu suatu waktu aku memunguti keteduhan yang lama kucari, lalu perlahan sempurna rajut ia menjadi lembar-lembar yang belakangan aku tahu itu rindu. Kusimpan, kujaga rapi dalam kesetiaan.
Pada jendela itu aku ingin menitipkan rumah, di mana aku selalu pulang dari pergi yang panjang. Sebab duniaku sejatinya pada jendela itu, aku tak butuh mengayuh lebih jauh. Tapi jendela itu retak kini, seseorang membuatnya cedera dalam. Setiap hari hanya ada mendung yang siap kapan saja melebur dan membanjur. Jendelamu tampak sekali lelah, bahagia layaknya sesuatu yang amat payah.
Pada pagi yang patah kau bangun, jendelamu tak lebih terang dari gulita puncak malam. Coba lihat kemari, jelita, coba tengok ke sini. Aku datang membawa segenap yang kupunya buatmu. Ambil pagiku, siangku, malamku, ambil segalaku gunakan buat pugar jendelamu. Sebab tanpa jendelamu, bagaimana bisa aku menengok duniaku?
[-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H