Lihat ke Halaman Asli

Suci Maitra Maharani

Tidak suka kopi

Suami Tiri

Diperbarui: 1 Oktober 2016   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://bali.tribunnews.com/

Aku masih ingat petang terakhir ia memeluk penuh tubuhku untuk pertama kali. Isaknya menelan kata-kata, ia tak berbicara apapun. Baru setelah guncang tangis mereda, di tepi ranjang kami ia berlutut memeluk kakiku erat.

“Aku mohon tetaplah di sini, Ris. Aku mohon jangan pergi. Maafkan aku sekali lagi. Aku janji akan berubah. Seperti yang selalu kau katakan, aku pasti bisa sembuh, kan?”

Semestinya aku juga menangis bersamanya, bahagia menyambutnya kembali. Tapi mataku seolah berhenti berekskresi dan entah kapan bisa membanjir lagi.

***

“Aku seminggu di Bali, seminggu di Yogyakarta. Proyek penelitian bersama mahasiswaku.”

Sudah biasa. Ia selalu mengatakan semuanya mendadak. Termasuk pagi itu ketika ia sudah rapi dan siap berangkat ke Bali.

“Sama Putra?” aku menyebut satu mahasiswa yang lumayan cemerlang menurut penuturannya tempo hari.

“Iya.” 

Tak seminggu, dua minggu, tak berapapun beda. Semua sama saja ia ada di sini ataukah tidak. Barangkali kami sudah sama-sama kebas dan mati rasa. Demi kehormatan keluarga, tak lain penyangga rumah tangga ini masih berdiri hingga detik ini. Meski untuk itupun entah berapa kali aku menahan diri agar tak mati.

***

Aku tak pernah mampu memaksakan reaksi wajahku. Tak mampu memaksakan agar air mata tumpah meski sekedarnya saja. Juga ketika petang beberapa waktu berselang polisi menggiringku menuju markasnya dan menjadikan statusku bukan lagi orang bebas. Aku tak tahu ekspresi apa yang tepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline