Lihat ke Halaman Asli

Beban Biaya TPS Bagi Warga Masyarakat di Desa Girirejo

Diperbarui: 21 November 2021   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Dokpri

TPS merupakan singkatan dari Tempat Pembuangan Sampah dimana biasanya terletak di desa-desa maupun perkotaan tertentu. Beberapa TPS masih memiliki pengelola di dalamnya, beberapa juga ada yang sudah dibiarkan saja tanpa ada pengelola. Salah satu TPS yang masih baru dan menjadi sasaran utama dalam artikel ini adalah TPS di dusun Mantran Kulon, Girirejo, kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. TPS ini di dirikan pada tahun 2021 dimana baru mulai beroperasi di sekitar bulan Oktober. Terdapat lebih dari 5 orang yang mengelola TPS di Girirejo ini yang merupakan pemuda-pemuda desa di Girirejo. Pemuda-pemuda relawan ini bertugas untuk memilah sampah di TPS, sampah yang dipilah terbagi menjadi 3 yaitu sampah organik, anorganik dan sampah residu.

Sampah organik merupakan sampah dari sisa-sisa makanan mulai dari nasi sisa, sayur-sayuran, lauk pauk dan lain sebagainya. Sampah anorganik merupakan sampah yang mudah untuk di daur ulang, contohnya sampah plastik, sampah botol, sampah kertas, kardus dan yang sejenisnya. Selanjutnya yakni sampah residu, sampah residu merupakan sampah yang sulit untuk di daur ulang, sampah dari residu ini terdiri dari, sampah pampers, masker, pembalut, dan tissue.

Dari ketiga jenis sampah tersebut dipilah oleh pemuda-pemuda relawan setiap harinya. Kemudian mereka juga bekerja untuk menggiling sampah sayur, dan memilah sampah plastik maupun botol.

Pada awal pengelolaan, pemerintah desa menghendaki untuk hanya melakukan uji coba gratis pada beberapa warga masyarakat yang terpilih. Diantara warga yang terpilih, dibagi menjadi sampah rumah tangga, sampah toko kelontong, dan sampah sayur.

            Pemerintah desa menjanjikan akan melalui uji coba gratis ini selama 3 bulan. Kemudian setelah itu akan ada penarikan dana pada setiap pengambilan sampah maupun dibayar pada awal bulan. Iuran bulanan yang ditarik oleh pemerintah desa di sesuaikan dengan berat sampah dan jenis sampah yang di produksi tiap harinya. Iuran pun dibagi menjadi tiga jenis, yaitu khusus sampah rumah tangga, sampah toko kelontong, dan sampah pedagang sayur. Dari ketiga jenis sampah tersebut yang dikisar paling banyak mengeluarkan dana yakni sampah dari pedagang sayur yang mencapai 75.000/bulan, sedangkan toko kelontong 25.000/bulan dan sampah rumah tangga 10.000/bulan. Pada dasarnya harga itu sudah merupakan harga umum yang biasanya di tetapkan untuk masyarakat di perkotaan. Namun, karena TPS 3R Mantran Kulon merupakan TPS yang letaknya di perdesaan banyak warga yang merasa keberatan akan beban biaya operasinal TPS 3R. Hal ini tentu terjadi karena banyak dari warga desa yang memang masih awam akan pentingnya menjaga lingkungan dan pentingnya mematuhi aturan dari pemerintah.

"Walah mbak, wong biasane niku nek sampah ki garek di buang nang sungai to mbak, nek nggak yo di bakar, la siki kok repot-repot mbayar ki lapo to mbak. Hmmmm" Kata bu utomo salah satu warga dusun Mantran Kulon. Ucapan yang sama juga disampaikan oleh warga yang lain. Kebanyakan dari warga masyarakat desa terbiasa dengan membuang sampah di sungai atau membakar sampah di rumah sebagai bahan bakar pawon (kompor tradisional), mereka tidak pernah mau tau akan sebab dan akibat dari perbuatan tersebut.

            Padahal sebenarnya mengikuti TPS 3R mempermudah warga untuk masalah membuang sampah. Warga tidak perlu lagi keluar rumah untuk membuang sampah. Tiap harinya pemuda-pemuda KPP akan dengan semangat mengangkut sampah-sampah warga, namun tetap saja masih banyak warga yang merasa keberatan dengan beban iuran perbulan tersebut. Ada pula warga uji coba yang mengembalikkan tempat sampah yang telah diberikan karena tahu akan ditarik iuran bulanan.

            Banyak dari warga masyarakat desa girirejo yang menginginkan agar biaya TPS ditiadakan atau di gratiskan, akan tetapi hal ini tidak akan mungkin terjadi, karena TPS yang berdiri memiliki pengelola tentu pemuda-pemuda pengelola adalah mereka yang mencari nafkah, dan membutuhkan uang untuk kehidupan pribadi mereka. Oleh karena hal ini, pengoperasian TPS 3R perlu untuk di pikir ulang kelanjutanya agar tidak memberatkan warga maupun pengelola di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline