Pada era revolusi industri 4.0 saat ini, perkembangan teknologi informasi telah mengubah gaya hidup masyarakat hingga pada titik yang paling fundamental. Perubahan gaya hidup ini mendorong masyarakat cenderung berperilaku konsumtif. Hal ini dikarenakan masyarakat membutuhkan kemudahan dalam segala aspek kehidupan dengan prinsip yang lebih praktis, sehingga dapat mempersingkat waktu dan tidak mengganggu pekerjaan. Terlebih lagi, dalam kondisi pandemi COVID-19 saat ini, penggunaan media online sebagai basis promosi semakin masif dan juga berkembang. Alhasil, semakin meningkatnya minat masyarakat dalam membeli barang secara online.
Berdasarkan hasil survei yang dirilis Populix, kelompok masyarakat yang paling banyak berbelanja online adalah mereka dari kategori usia milenial dan GenZ. Survei ini melibatkan 6.285 responden di seluruh Indonesia. Dan didapatkan hasil, pada kelompok usia 18-21 tahun dan 22-28 tahun memiliki angka tertinggi dalam aktivitas berbelanja online dengan masing-masing 35 persen dan 33 persen suara koresponden. Hal ini tentu sudah cukup untuk membuktikan bahwa generasi milenial lah yang memegang peranan terbesar dalam perihal belanja online. Generasi milenial atau yang disebut juga generasi Y adalah mereka yang lahir sekitar tahun 1980 sampai 2000. Jadi bisa dikatakan, generasi milenial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia sekitar 15-34 tahun. Kisaran usia tersebut sesuai dengan rata-rata usia mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, yaitu sekitar 19-34 tahun.
Konsumtivisme erat kaitannya dengan shopaholic. Shopaholic berasal dari kata shop yang artinya belanja dan aholic yang artinya suatu ketergantungan yang disadari ataupun tidak disadari. Menurut Oxford Expans, dikemukakan bahwa shopaholic merupakan kondisi seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja. Sehingga, mereka akan menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja. Kondisi ini didorong oleh maraknya berbagai aplikasi belanja online seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, dan lain sebagainya. Aplikasi-aplikasi ini menyediakan semua kebutuhan dan juga kemudahan dalam transaksinya. Selain itu, aplikasi ini juga kerap mengadakan diskon besar-besaran yang membuat seseorang tertarik untuk membeli secara berlebihan tanpa berpikir panjang apakah mereka benar-benar membutuhkan barang tersebut atau tidak.
Apabila aktivitas dan perilaku mengoleksi barang ini terus terjadi, maka dapat berakibat pada timbulnya penumpukan barang yang tentunya akan memakan banyak tempat di rumah. Kebiasaan shopaholic yang terus berlanjut ini dapat berkembang menjadi hoarding dissorder penimbunan. Hoarding dissorder diartikan sebagai gangguan psikopatologis yang dapat ditimbulkan dari kesulitan bagi seorang individu untuk membuang dan terus melanjutkan aktivitas mengoleksi benda yang bersifat tidak terlalu penting.
Pengidap hoarding dissorder cenderung merasa sulit untuk membuang barang tidak terpakai karena beranggapan “saya akan membutuhkan benda ini nantinya.” Hoarding dissorder ini dapat menyebabkan masalah dalam hubungan, aktivitas sosial dan pekerjaan, serta area fungsi penting lainnya. Konsekuensi potensial dari penimbunan yang serius termasuk masalah kesehatan dan keselamatan, seperti bahaya kebakaran, bahaya tersandung, dan pelanggaran kode kesehatan. Ini juga dapat menyebabkan ketegangan dan konflik keluarga, isolasi dan kesepian, keengganan orang lain memasuki rumah, dan ketidakmampuan untuk melakukan tugas sehari-hari, seperti memasak dan mandi di rumah.
Dalam upaya mencari kebahagiaan, manusia memang seringkali mengkonsumsi begitu banyak barang. Oleh karena itu, hadirlah sebuah konsep gaya hidup minimalis sebagai tandingan dari gaya hidup konsumtif. Minimalisme merupakan gaya hidup sederhana, tidak berlebihan dan lebih memprioritaskan kualitas dibandingkan kuantitas. Selain mengurangi kecanduan belanja, minimalisme juga mengurangi biaya untuk pembelian barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, dan juga mengurangi rasa kepemilikan dari suatu barang sehingga manusia dapat merasa lebih tenang dan bahagia. Namun sayangnya, gaya hidup minimalis masih belum begitu populer dan awam di telinga generasi milenial Indonesia.
Untuk itu, solusi yang tepat untuk menghentikan kebiasaan shopaholic adalah dengan membiasakan diri menerapkan Decluttering, yaitu kegiatan menyingkirkan barang-barang yang menumpuk di rumah. Kegiatan Decluttering ini merujuk pada hasil akhir yaitu gaya hidup minimalis. Mungkin sekilas terlihat sebagai kegiatan bersih-bersih semata, namun dalam prosesnya menyingkirkan barang yang tidak berguna di dalam rumah akan mendorong kita untuk berefleksi dan memikirkan kembali tentang gaya hidup yang semula cenderung konsumtif.
Merealisasikan sesuatu yang baru untuk menghilangkan suatu kebiasaan yang sering kita lakukan memanglah tidak mudah. Ada proses panjang yang perlu dilewati hingga pada akhirnya kita dapat mencapai tujuan tersebut. Untuk itu, saya pribadi sebagai seorang mahasiswa yang secara umum memegang peranan sebagai agent of change dan iron stock dalam masyarakat merasa perlu untuk membagikan opini saya terkait permasalahan ini. Selain itu, sebagai mahasiswa Universitas Airlangga yang berkarakter HEBAT dan senantiasa memegang motto Excellent With Morality, saya juga menawarkan beberapa solusi yang mungkin dapat diterapkan oleh para pembaca dalam membiasakan diri dengan gaya hidup minimalis, diantaranya :
- Pahami mengenai konsep Minimalisme dan Decluttering, hal ini penting untuk dilakukan sebab seseorang yang ingin memulai hidup minimalis perlu melakukan kegiatan Decluttering terlebih dahulu.
- Membuat to do list dalam melakukan kegiatan Decluttering, tujuannya untuk memberikan tantangan dalam mencapai target, sehingga dapat lebih terarah dan jelas tujuan akhir apa yang ingin dicapai.
- Menerapkan mindset jual, simpan, donasi terhadap barang-barang yang sudah tidak terpakai. Hal ini dapat dilakukan dengan memisahkan barang-barang apa saja yang layak untuk dijual atau didonasikan, dan barang mana yang masih bisa digunakan ataupun didaur ulang sehingga masih layak untuk disimpan.
- Mendesain ulang rumah/ruangan menjadi lebih minimalis. Tanpa disadari, kegiatan ini akan mendorong kita untuk menyisihikan barang-barang yang menumpuk di dalam rumah/ruangan. Selain itu, dengan mendesain ulang rumah/ruangan juga dapat memberikan suasana baru yang tentunya berdampak pada kesehatan fisik dan psikologis tubuh kita.
- Menyewa jasa Decluttering (bagi mereka yang merasa berat melakukannya sendiri). Bagi mereka yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya ataupun mereka yang tidak tahu harus memulai darimana, dapat menyewa jasa orang lain untuk melakukan kegiatan Decluttering. Tak perlu khawatir, karena di Indonesia sudah banyak perusahaan ataupun individu yang menyediakan jasa Decluttering.
- Saling bertukar informasi ataupun advice dengan sesama orang yang menerapkan Decluttering. Tujuannya, selain untuk mendapatkan informasi-informasi baru mengenai Decluttering, hal ini juga dapat menjadi sumber penyemangat dan motivasi bagi diri sendiri dan orang lain.
Harapan kedepannya, kegiatan Decluttering ini dapat menjadi trendwatching di kalangan masyarakat Indonesia, dimana nantinya kegiatan ini dapat menjadi media pengamatan terhadap tren perubahan menuju gaya hidup minimalis. Dari proses pengamatan inilah, diharapkan akan timbul keinginan dari dalam diri masing-masing orang untuk ikut berubah dan mengurangi kebiasaan shopaholic. Selanjutnya, dalam tahap envisioning yang menggambarkan progres dalam proses perubahan dan manfaat yang dapat dirasakan dari kegiatan Decluttering. Sehingga, seiring berjalannya waktu akan terbentuk paradigma bahkan sampai pada perubahan mindset masyarakat bahwa tidak semua barang harus disimpan dan dimiliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H