Sumenep - Madura memiliki sebuah kebudayaan yang selalu dilestarikan. Nyadar (upacara adat) adalah sebuah tradisi turun temurun masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas Kabupaten Sumenep. Sumenep merupakan sebuah kota yang berada di Pulau Madura yang dikelilingi oleh lautan, sehingga mayoritas masyarakatnya memiliki pekerjaan yang berhubungan langsung dengan laut seperti halnya petani garam. .
Nyadar merupakan upacara yang biasa dilakukan oleh para petani garam di daerah Desa Pinggir Papas Kalianget dan Desa Kebundadap Kecamatan Saronggi. Nyadar sebenarnya bukanlah sebuah bentuk ritual kepercayaan melainkan sebuah upacara adat turun-temurun sebagai ungkapan rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pemberiaan berkah, khususnya hasil dari panen garam yang diharapkan jika panen selanjutnya akan meningkat dan juga sebagai rasa terima kasih terhadap jasa Pangeran Anggasuto yang telah mengajari bagaimana membuat garam yang hingga kini tani garam menjadi mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat Sumenep
Untuk menghormati jasa Pangeran Aggasuto, upacara Nyadar dilakukan 3 tahap : yang pertama dan kedua di asta atau makam Pangeran Aggasuto yang disebut Bujuk Gubang yang terletak di wilayah desa kebundadap Barat. Nyadar ketiga di laksanakan di Desa Pinggir Papas di rumah masing- masing warga.
Masyarakat di Sumenep umumnya beragama Islam, namun dalam pelaksanaannya tradisi Nyadar masih dipengaruhi oleh Hinduisme seperti halnya membakar kemenyan sebelum ritual dimulai, membawa sesajen, dan menorahkan bedak di dahi ataupun di telinga.
Semua itu dilakukan karena Pangeran Anggasuto merupakan Pangeran dari tanah Bali yang menganut Agama Hindu. Jadi tidak heran ketika ritual dan perayaan tersebut berbau Hinduisme. Mereka mengasumsikan bahwa hal tersebut dilakukan hanya utuk mengusir roh-roh jahat.
Dan mereka meyakini ketika laki- laki dan wanita yang datang kesana belum menikah tetapi ketika mereka memakai bedak di dahi mereka, maka jodoh mereka akan segera datang dan satu hal lagi yang mereka yakini. Ketika ritual mengelilingi makan Pangeran Anggasuto dan diantara mereka ada yang tidak kuat hingga jatuh, maka mereka meyakini bahwa umur mereka yang jatuh akan pendek. Filosofi tersebut sudah menjadi keyakinan bagi mereka semua.
Nah sejujurnya, tidak ada keterkaitan antara Upacara Adat Nyadar dengan hasil produktivitas panen garam. Mitos ternyata menjadi sebuah sesuatu yang mengakar dalam diri mereka yang mengakibatkan ketika tidak melaksanakan adat nyadar maka akan beneran terjadi pemerosotan produktifitas garam nya padahal sebenarnya upacara Adat Nyadar murni hanya sebagai wujud Syukur terhadap hasil Panen garam yang memuaskan dan sebagai wujud menghargai jasa orang pertama yang telah mengenalkan mengenai pembuatan garam.
Hasil produktivitas panen garam bagi penduduk yang melaksanakan adat Nyadar bukan lagi hal yang tergantung kerja keras petani garam. Jika petani garam bekerja keras dan bersungguh-sungguh akan memanen garam yang melimpah begitupun sebaliknya tetapi semuanya berubah karena adanya keyakinin tentang adat Nyadar yang selama ini mereka laksanakan dan rayakan. Karena begitu sakralnya ritual tersebut, perayaan Nyadar lebih meriah dari pada perayaan Idul Fitri yang seharusnya lebih mewah karena bagi orang Islam melaksanakan perayaan Idul Fitri, kita sudah menang dari sebuah cobaan menjaga makan, minum dan hawa nafsu selama sebulan melaksanakan ibadah puasa
Diambil dari Lontar Madura, Wikipedia, Wikiwisata, Buku "Sumenep of the Soul"Masyarakat Sumenep
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H