Lihat ke Halaman Asli

Absurditas

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1302761910182732405

Saat memulai tulisan ini, gigiku masih terasa sakit, ngilu. Sejak tiga bulan lalu aku mengalaminya. Seingatku sakit gigi terakhir kurasakan saat masih kelas lima SD. Aku sempat menelepon ibuku di Kota Batu, Jawa Timur, berkeluh kesah perihal gigi ini. Ternyata ia masih ingat waktu pertamakali membawaku pergi ke puskesmas dekat rumah untuk mencabut gigi geraham kiri atas yang berlubang. Katanya, “Le, aku terpaksa meminta mantri untuk mencabut gigimu, aku tak tega melihatmu meraung-raung, terus membentur-benturkan kepala ke tembok menahan nyeri gigi.”

Kini setelah belasan tahun, aku mendapatkan gigi geraham bawah kiri dan kanan atas berlubang, dan dua lain yang berpotensi sama. Selama ini, kukira, aku tak bermasalah dengan kebiasaan menggosok gigi di pagi hari dan sebelum tidur. Sampai sebuah tragedi menjelang. Bakso daging yang kumakan waktu liburan di Jawa Timur, telah mengoyak selera makan, karena gigi geraham atas mendadak terasa nyeri, ngilu luar biasa saat mencoba mencerna makanan khas Malang itu. Akibatnya, aku mesti mengonsumsi bubur nasi sampai gigiku siap mengunyah dengan benar. Sial.

Tak banyak yang kulakukan saat sakit gigi kambuh. Semua hal yang kulakukan seolah salah, bahkan menjadi pemicu rasa nyeri. Sempat meminum obat pereda sakit gigi, namun itu pun tak bertahan lama. Biasanya kuminum obat itu sebelum tidur. Aku sadar, bahwa obat generik hanya menunda rasa sakit dan tak pernah benar-benar mengobati sang penyakit. Aku pun tak sering meminumnya, kecuali saat bekerja dan rasa nyeri yang mendadak kambuh.

Jangan ditanya soal rasa sakit gigi, karena jawabannya jelas lebih dari sekadar sakit hati. He..he..he. Makan pun tak bisa mengunyah selancar dulu. Awal sakit gigi, aku hanya makan Bubur, bubur, dan bubur. Namun aku pun berpikir, kalau menyerah sekarang, berarti aku akan terus berada di bawah kendali rasa sakit ini.

Pemikiran itu yang membuatku berubah, aku tak lagi memerhatikan sakit gigi ini sebagai penyakit. Nampaknya selama ini, rasa sakit itu muncul karena aku terlalu berfokus pada gigi dan penyebabnya. Hal itu yang memancing kebutuhan mengonsumsi obat bahkan keinginan mengoperasi gigi. Kini, aku lebih fokus pada kesehatan, bukan pada penyakit. Dengan demikian rasa sakit yang muncul, hanya tergantung dari faktor luar atau makanan yang kukonsumsi sehari-hari.

Semua orang menyarankanku pergi ke dokter gigi untuk menambal atau mencabut gigi-gigi nakal ini. Ya, kuakui, sakit gigi memang luar biasa, super. Namun, sejak aku lebih memfokuskan pada kesehatan bukan rasa sakit, mendadak gigi-gigi yang berlubang itu tak lagi bermasalah. Ajaib. Tiap kali aku fokus pada hal selain sakit gigi, maka sakit gigi itu tak pernah ada. Melalui sakit gigi akhirnya aku sedikit mengerti soal Absurditas yang dimaksud Camus dalam Novel “Sampar”.

Camus adalah seorang yang dibesarkan tradisi Katolik, namun yang mengherankan, ia nampak tak begitu ingin disibukkan dengan keyakinannya terhadap tuhan. Sejak umur tujuh belas tahun, Albert Camus menderita penyakit TBC. Nampaknya, penyakit TBC membawanya pada kesadaran tentang kematian, ia merasa dikoyak oleh keinginan untuk hidup sekaligus dibayang-bayangi kematian. Ketegangan antara keinginan hidup dan kematian itulah yang melahirkan konsep Absurditas.

Absurditas tertuang dalam Novel “Sampar”, sebuah fenomena wabah penyakit pes yang dibawa oleh tikus pada abad pertengahan. Camus menggambarkan Sampar menyerang penduduk Kota Oran. Melalui Sampar, ia ingin menunjukkan bagaimana perjuangan manusia di hadapan Absurditas. Camus menyampaikan pesan Absurditas melalui tokoh utama, Dokter Bernard Rieux, bahwa manusia tak pernah bisa menakhlukkan nasib, sejarah, atau takdir. Ia hanya bisa bergulat melawannya. Bahwa di hadapan Absurditas, kesadaran manusia hanyalah ketidakmasukakalan dan kontradiksi yang sebenarnya menjadi kondisi kesehariannya sendiri.

Novel Sampar adalah sebuah gambaran bagaimana etika manusia merespon penyakit. Ada banyak tokoh di dalam “Sampar” beserta berbagai respon atas wabah Sampar di Kota Oran. Sampar dalam teropong Camus, merupakan figur ideal untuk diolah sebagai cerita, karena kitab suci perjanjian lama menyebut penyakit Sampar sebagai hukuman untuk musuh-musuh Allah.

Nampaknya sejak zaman kuno, wabah pes menjadi simbol kemarahan dan hukuman Illahi. Penduduk Kota Oran –sebenarnya gambaran dari Aljazair– begitu resah dengan keberadaan Sampar di tempat tinggal mereka. Para dokter tak memiliki kesatuan pandangan medis, pemerintah hanya ingin meminimalkan persoalan, media massa terus disibukkan dengan pemberitaan yang bombastis, sedangkan rakyat sendiri kebanyakan tak mau tahu.

Seorang Imam Jesuit sekaligus ahli Geografi, Romo Paneloux, memiliki pandangan bahwa wabah Sampar adalah representasi dari sesuatu yang sama sekali lain dengan wajah para korban. Ketidaktahuannya pada yang konkrit membuatnya menyatakan Sampar sebagai kebenaran, Sampar mewahyukan kebenaran, dan tuhan sedang menghukum orang-orang di Kota Oran. Umat pun semakin resah. Mereka yakin bahwa Sampar yang hadir di Oran sebagai hukuman atas kesalahan kolektif tanpa nama. Lain halnya dengan Tarrow, seorang tokoh yang digambarkan sebagai teman Dokter Rieux yang ikut mengorganisasi relawan berjuang melawan pes sampai akhir hidupnya.

Tokoh lain yang mewarnai sikap manusia terhadap penyakit adalah seorang wartawan bernama Rambert yang lebih skeptis, menolak kenyataan wabah dan mencoba keluar dari Kota Oran. Rambert selalu berpikir sebagai orang luar bukan bagian dari kota. Menurutnya, hanya atas nama kebahagiaan dan cinta, Rambert memerjuangkan kehidupannya.

Sebagai tokoh utama, Dr Rieux berusaha melihat Sampar sebagaimana adanya. Ia pun tak berusaha menggantungkan pada kekuasaan tuhan. Sebaliknya, Dokter Rieux berjuang di sisi korban, berupaya menyembuhkannya, dan berupaya menjadi manusia yang melibati para korban sebagai kejujuran. Akhirnya Sang Dokter melihat manusia di hadapan penyakit sebagaimana dunia ini diatur oleh kesewenang-wenangan kematian.

Di akhir cerita, Sampar tiba-tiba berhenti sendiri bukan karena kemenangan medis, karena wabah pes hanya tertidur sementara, dan Rieux hanya mau menjadi saksi bagi semua orang. Sebenarnya cerita Sampar menyimbolkan sebuah wabah telengas sebagaimana kekejaman NAZI melanda Eropa. Camus pun merangkai cerita dan kritik melalui Sampar sebagai optimisme dan keterlibatan di sisi kaum tertindas. Hal yang sama terjadi di kehidupan nyata Camus, bahkan rekan-rekan seperjuangannya yang berhaluan Komunis seringkali mengejeknya sebagai moralis palang merah. Camus tutup usia saat kecelakaan mobil merenggut jiwanya pada 4 Januari 1960.

Sampar dan sakit gigi yang kurasa memang jauh berbeda. Namun sebagai dua hal yang berpotensi sebagai penyakit, maka terus-menerus melawan penyakit adalah sebuah respon yang diatur oleh etika Absurditas Camus. Kukira masih banyak penyakit yang lebih mengerikan daripada Sampar atau sakit gigi. Bukan penyakit medis, tapi penyakit-penyakit sosial dan politik. Misalnya korupsi, jika belajar dari cerita “Sampar”, sikap penduduk Kota Oran persis dengan fenomena bangsa ini menyikapi korupsi. Para aparat penegak hukum bisa saja tersenyum bangga ketika satu persatu koruptor mulai dijebloskan ke penjara. Tapi, apakah dengan demikian penyakit korupsi itu akan sirna dengan sendirinya?

Kukira tidak. Sama seperti sakit gigi dan Sampar sebagai wabah yang tidur untuk sementara waktu, korupsi juga ada di dalam kehidupan sehari-hari. Mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk mencelakakan segenap bangsa ini. Korupsi adalah perwujudan ancaman dan kesewenang-wenangan yang membawa pada kematian. Bukan hanya kematian secara fisik, tapi kematian moral manusia. Apa yang terjadi ketika Absurditas dan etika palang merah Camus jika dihadapkan dengan kematian moral? Tak ada, selain Absurditas dan manusia itu sendiri.

Pilihan pemberontakan nilai dan penerimaan nilai memiliki peluang yang sama dalam sikap hidup manusia. Namun di dalam etika Absurditas, pilihan hidup hanya menyisakan ruang pembebasan dari ketertindasan dan sikap melibati pada korban, bukan yang lain. Wajar jika di dalam karya-karya Camus lebih mencerminkan ide-ide tentang manusia pemberontak.

Tak mustahil melakukan sebuah pemberontakan pada penyakit korupsi. Penegakan hukum namun menjauhkan rasa keadilan, tak akan mampu melenyapkan korupsi. Kacamata Absurditas Albert Camus dalam “Sampar” jika diterapkan pada fenomena korupsi, akan menekankan aspek keterlibatan pada pemenuhan rasa keadilan sosial.

Korupsi adalah sebuah fenomena tindakan pencurian yang diperhalus oleh kelas menengah. Mulai menggunakan kata “pencurian besar-besaran” menggantikan kata “korupsi” adalah awal dari pemberontakan nilai. Orang di pasar, di jalanan, di kampung, tak paham istilah korupsi, dana penyertaan, bail out, dan sebagainya (baca postingan sebelumnya, “Sederhana Itu Perlu” lihat juga di wwwmyspatial.blogspot.com). Tapi mereka tahu istilah pencuri, rampok, garong, atau copet. Pemberontakan gramatikal adalah sebuah awal dari etika Absurditas untuk mengatasi penyakit macam korupsi. Tapi, kenapa gigiku masih terasa sakit, ngilu? Huh! [] dit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline