Lihat ke Halaman Asli

Maik Zambeck

corat coret

Perlunya Kembali Mata Pelajaran Adab untuk Belajar (online)

Diperbarui: 8 November 2020   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya termasuk yang salah seorang yang tidak begitu suka dengan hal yang bersifat basa basi. Dulu, menurut saya adab ini, adab itu adalah sesuatu  lebih cendrung  besifat sebagai basa basi.  Walau ternyata dalam perkembangan proses belajar mengajar, negara kita pernah mencantumkan mata pelajaran adab sebagai sesuatu mata pelajaran wajib. Yang pastinya sudah tidak akan pernah di temui lagi  di dalam pendidikan konvensional sekarang. 

Dalam pemahaman sederhana kita, adab ini, adab itu adalah hal pengatur yang tidak langsung menuju ke permasalahan utamanya seperti bagaimana cara duduk saat belajar, posisi badan saat mendengarkan pelajaran,  tata cara bicara saat menyampaikan pertanyaan atau menjawab pertanyaan, pengaturan intonasi suara saat berbicara dan lain sebagainya.  Menurut orang sekarang, yang penting adalah pelajarannya, bukan bagaimana cara kita menerimanya atau menyampaikannya. Cara ini, cara itu sudah menjadi hal remeh yang sudah tidak pernah diperhitungkan lagi dalam belajar. Orang cendrung membandingkan segala sesuatunya dengan angka-angka, kejelasan yang dapat diukur seperti angka dalam nilai ujian atau nominal satuan uang. Nilai-nilai moral, etika, kesopanan tingkah laku adalah sesuatu yang abstrak dan bernilai relatif, yang tidak mungkin di bandingkan satu sama lain. Seperti cara bicara si A sopan menurut si B, tapi belum tentu menurut si C, dan begitu seterusnya. 

Tapi belakangan harus di akui, keadaan akan menjadi berbeda kalau kita mau memaknai hakikat belajar sesungguhnya, jauh  dari pemahaman apa yang kita dapat selama ini, hanya untuk mencapai nilai bagus saat ujian. Belajar itu adalah proses, yang lebih sering orang menyebutnya "menuntut ilmu". Artinya, ilmu itu memang harus dituntut untuk dicapai. Dalam penuntutannya lebih banyak susah dari pada senangnya. Atau terkadang orang menyebutnya "menimba ilmu'. Bayangkan bagaimana orang yang menimba air dengan tangannya dari dalam sumur, sama seperti itu pulalah susah payahnya orang untuk menuntut ilmu. Jadi dari proses belajar mengajar, yang ingin di capai itu sebenarnya adalah perpindahan ilmu atau pemberian ilmu dari guru ke murid. Ilmu jauh lebih bernilai dibandingkan angka bagus di ijazah. Dengan ilmu, mau dia tinggal seorang diri di ujung dunia pun masih akan bisa bertahan hidup. Tapi dengan nilai di ijazah tanpa ilmu untuk tinggal sendiri di ujung dunia, siapa yang peduli?  Tapi sayangnya pergeseran makna dari hakikat belajar untuk menuntut ilmu menjadi perolehan nilai baik, tidak di sadari banyak orang pada saat ini. 

Karena begitu susahnya menuntut ilmu, dan begitu berharganya ilmu, untuk itu dalam proses perpindahannya dari pengajar ke murid harus melalui tata cara demi memuliakan ilmu tersebut.  Ilmu ibarat air, dia akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah, akan mengisi cawan-cawan terbuka dan akan melewati begitu saja cawan-cawan yang tertutup atau tertelungkup. 

Tata cara perpindahannya itu lah yang disebut dengan adab.  Adab adalah konteks tingkah laku, mengacu pada etika yang ditentukan oleh kehalusan budi, sopan santun, akhlak, kesopanan. Penting diingat, adab diperlukan oleh kedua belah pihak dalam proses penyampaian ilmu, baik guru atau murid. 

Sebagaimana sifat ilmu yang menyerupai air, murid harus memposisikan dirinya sebagai cawan terhadap guru. Tidak akan terisi air jika cawan berposisi lebih tinggi dari teko, sebagaimana tidak akan tersampaikan ilmu jika murid meninggikan dirinya dari guru melalui sifat sombong, angkuh dan lain-lain. Ilmu juga tidak akan terisi penuh sebagaimana mestinya jika murid meremehkan prosesnya,  bermalas-malasan, sebagaimana teko mengisi cawan yang miring.  Begitu juga guru, guru harus bersungguh mengajar sebagaimana teko memastikan dimana air di alirkan tepat ke cawan yang menganga. 

Adab lebih tepatnya adalah pengaturan diri yang lebih bersifat emosinal, psikologi,  kejiwaan yang bermuara ke hati.  Dimana ilmu lebih bersufat rasional, empiris, dan logika bermuara di akal. 

Proses penyampaian ilmu adalah tahap dimana indra-indra manusia dirangsang, kemudian disalurkan ke hati untuk dicerna secera intiusi perasaan kemudian diteruskan ke akal untuk melalui proses berlogika. Sedang bentuk sikap atas pemahaman ilmu tersebut adalah proses sebaliknya. Bermula dari akal yang berlogika, kemudian diukur secara intuisi perasaan oleh hati, di teruskan ke panca indra berupa respon dari proses pengertian untuk dapat ditangkap orang lain. 

Peniadaan adab, sama seperti hal nya meniadakan proses kejiwaan berintuisi perasaan oleh hati dari proses di atas. Jiwa yang berintuisi ibarat filter penyaring, dalam mencerna ransangan luar yang ditangkap panca indera sebelum diteruskan ke akal agar akal tidak cepat rusak. Terbukti, sebagaimana banyak dari kita mungkin juga pernah mengalaminya tentang suatu keadaan. Perasaan kita merasakan ada sesuatu yang tidak beres dan merespon begitu cepat  sebelum akal berhasil mencerna keadaan tersebut sesungguhnya dengan logika. Dan memang benar, akhirnya terbukti ketidak beresan itu beberapa waktu setelahnya di saat akal memahami alasannya. 

Begitulah ilmu adab, ternyata sudah bukan sebuah ilmu basa basi lagi, tapi merupakan ilmu untuk memuliakan akal agar dia tidak cepat rusak. Memang untuk berlaku sopan, ramah tamah halus budi di butuhkan pengorbanan diri untuk merendah terhadap orang lain dan terkesan menghinakan diri. 

Tapi, saat diketahui tidaklah seberapa nilai perendahan diri itu dibanding nilai akal yang rusak karena angkuh sombong yang meniadakan fungsi hati, jika akal sudah rusak sudah tiada nilai lagi manusia tersebut, maka jadi tak berarti lah ia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline