Akhir-akhir ini, banyak sekali kita mendengar dan membaca berita para petani yang membuang hasil panennya karena hancurnya harga jual. Mulai dari tomat, pepaya, jeruk, pakcoy, terong, hingga buah naga dan masih banyak lagi. Tidak hanya sekarung, dua karung, hasil panen yang mereka buang, tapi bahkan sampai berton-ton, sungguh sayang dan kasihan! Selain karena hukum ekonomi supply-demand yang berlaku, mereka lebih memilih membuang hasil panennya dengan tujuan untuk menstabilkan kembali harga komoditas tersebut di pasaran, tapi ada juga alasan petani yang sudah bingung mau dijual kemana lagi hasil panen mereka.
Banyak dari sebagian masyarakat kita dan netizen yang menyayangkan hal tersebut. Mereka bertanya-tanya, kenapa tidak di sedekahkan saja atau diolah dan sebagainya. Faktanya, para petani kita juga telah membagi-bagikan hasil panennya ke para tetangganya dan orang-orang terdekat mereka. Hanya saja tidak mungkin dibagi secara luas karena bisa semakin mematikan harga pasar. Dan untuk mengolahnya agar menjadi nilai ekonomis yang lebih tinggi pun sudah barang pasti membutuhkan modal lagi yang tidak sedikit juga. Sebab, untuk hasil panennya saja mereka sudah gulung tikar!
Dan tak sedikit pula, orang-orang baik di negri kita ini yang mau membeli hasil panen mereka dengan harga normal untuk menolong perekonomian para petani kita. Namun pertanyaannya, apakah orang-orang baik tersebut bisa mengatasi seluruh masalah petani kita se indonesia raya ini? Karena pasti masih ada petani yang belum bisa mereka jangkau atau tolong. Lantas, harus bagaimana??
Petani kita butuh kehadiran peran negara! Karena memang fungsi negara adalah mengurusi maslahat/kebaikan hajat hidup seluruh rakyatnya. Negara lah yang mempunyai kuasa untuk membuka kran ekspor hasil pertanian kita selebar-lebarnya. Hingga masalah membeludaknya komoditas pertanian dalam negeri kita ini bisa teratasi dengan selamat dan mensejahterakan para petani kita. Tidak hanya itu, negara juga bertanggung jawab atas edukasi dan subsidi kebutuhan pertanian mereka. Apalagi di era digitalisasi seperti sekarang ini.
Namun, kenapa masalah ini selalu kembali berulang setiap tahunnya, seolah pemerintah kita tak serius menjalankan amanah rakyatnya. Itu semua karena sistem kapitalisme yang diambil dan dijalankan oleh negeri ini. Demokrasi yang katanya bermakna dari rakyat, untuk rakyat, dan kembali kepada rakyat hayat menjadi omong kosong belaka. Sebab, tolak ukur kebahagiaan dalam sistem kapitalisme hanyalah nilai manfaat belaka. Sehingga mereka tidak lagi takut kepada Tuhan dalam menjalankan amanah negara untuk mensejahterakan rakyatnya.
Maka sudah seharusnya kita kembali pada sistem pemerintahan Islam. Yang mana semua hukum dan undang-undang negara dijalankan berdasarkan alquran dan Sunnah Rasulullah Saw. Sehingga rakyat mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan yang merata, tidak hanya disektor pertanian, tapi di semua kebutuhan hidup, tidak hanya untuk kebaikan umat muslim saja, tapi untuk umat manusia seluruhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H