Tadi siang, seorang ibu mudah membeli pulsa ke saya. Singkat kata, saya kirim, prosesnya sukses karena notifiksai sudah masuk. Tak lama ia komen, katanya pulsa belum masuk. Saya bingung, kok bisa, setahu saya kalau sudah ada notifikasi masuk tandanya sudah berhasil.
Yang bersangkutan, tetap ngotot. Lapor dong saya ke bos, gimana ini kasus macam gini. Bos mengorfirmasi kalau sudah sukses dan nomor terdaftar, ya sudah. Terjadi adu argumen saya sama muda itu.
Saya merasa benar, karena sesuai nomor yang ia sodorkan. Ibu muda itu merasa benar, karena pulsa belum masuk. Untungnya ada adik saya jadi penengah di antara keributan itu.
Dan kamu tahu siapa yang salah? Ternyata, ibu muda itu salah menulis satu nomor saja. Ya ampun, gara-gara satu nomor raib pula nominal yang lumayan itu. Dia minta maaf, yang menuduh saya macam-macam. Padahal saya cuma satu macam. Woke, saya terima maafnya.
Peristiwa tadi membikin saya agak syok, betapa dituduh bohong itu tidak enak. Enaknya dituduh yang baik-baik, pengennya. Walau pun tetap saya berpikir, kenapa saya harus merasa sempurna. Justru ini alarm, siapa pun bisa salah dan menyalahkan.
Kalau sekarang saya disalahkan, bukan tidak mungkin esok saya juga menyalahkan orang. Alasannya sih, bla-bla. Padahal apa repotnya, sebelum menyalahkan bertanya ke yang bersangkutan daripada menghakimi.
Dipikir-pikir saya sering menyalahkan orang, tanpa mau tahu isi hatinya. Isi hati orang kan berbeda-beda. Apa yang kita anggap negatif belum tentu aslinya begitu. Kalau pun perbuatan negatif itu mungkin ada alasan yang mendasarinya.
(T#)
Pdg, 7 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H