Laki-laki kurus tinggi yang kurang dagingnya itu lagi serius membaca, entah buku apa. Ia sedang membaca untuk pembekalan kelas menulis beberapa menit lagi. Ia mengajar secara sukarela di sini, terminal Kadu Banen, bebarapa kilometer dari jantung kota Pandeglang. Kota di mana aku lahir dan hidup, dan jualan. Pesertanya lintas profesi, para pedagang juga anak jalanan dan lainnya. Intinya, siapa saja yang mau, kamu pun boleh ikutan juga. Syaratnya satu, kamu manusia.
Aku ingat pertama kali melihat dia. Dia yang kurus tak berbalut daging itu. Amat itu namanya. Mungkin kamu bertanya, kok tahu. Tahu lah, karena aku tanya sama si penjual tahu bulat yaitu Maria, dia temanku. aku juga penjual sih, jualan apa ya. Oh iya, jualan koran dan buku-buku.
Ceritanya di siang yang panas membakar bumi itu, aku mules pengen nabung ke toilet. Jualan itu aku titipkan pada penjual tahu bulat yang juga temanku, Maria. Aku mules karena makan bakso yang sambalnya terlalu banyak aku ambil, 10 sendok. Maria sampai marah-marah ke aku, eh juga pedagangnya Mas Parman, gak tahu apa harga cabai lagi pedas katanya. Yee, mungkin mereka gak tahu dari pagi jualanku belum laku juga. Makanya memakan sambal pelampiasannya. Hehe.
Hasilnya ya gini, mules.
Setelah aku puas setor dengan sisa tenaga yang ngos-ngosan, aku melihat jualanku berkurang banyak. Tentu aku curiga, apa ada yang mencuri atau ada yang borong daganganku. Maria khusyu dengan gadget-nya, kayaknya sih menonton podcast Abang Botak yang kaya itu. Padahal apa enaknya coba, yang ada pusing, tapi dia mah suka karena bikin pinter. Pinter mah belajar, Neng.
Lima puluh langkah dariku ada seorang laki-laki lagi asyik membaca buku-buku, kuat dugaanku itu buku jualanku. Tentu aku mulai curiga, jangan-jangan laki-laki itu ...., maka aku harus bertindak. Aku gak boleh diam, walau aku wanita jarang mandi dan hidup sederhana. Apaan membaca tanpa izin. Aku kumpulkan sisa tenaga yang terkuras karena membuang hajat tadi. Enak saja main baca.
Sebelum itu terjadi.
"Hey, Susi, mau ke mana kamu," Maria menepuk pundak ku.
"Aku tak boleh diam pada orang menjamah kehormatanku. Ini zaman eman juga punya sapi, maka aku harus berani. Kamu gak boleh menahanku," aku berkata lugas ke Maria. Maria nampak terpukau, mungkin dia gak menyangka bahwa aku juga berani dan cerdas.
"Apa maksudmu SURTIII!!!?" Maria setengah teriak di telingaku, aku kaget.