#
Guru Gembul sedang hangat-hangatnya di perbincangan banyak
kalangan. Perdebatannya bersama Gus Wafi di Rabithah Alawiyah memantik ragam komentar. Pro dan kontra tak bisa dihindari. Mereka yang pro Guru Gembul, menyebut menang di arena tersebut. Mereka yang pro Gus Wafi justeru mengatakan menguasai kaidah keislaman. Entahlah, saya harus condong ke mana.
Dua kutub pemikiran Islam yang cukup seru untuk dilewatkan. Keduanya wujud kenyataan sosial di tengah arus diskursus keilmuan yang membumi. Stigmasiasi konservatif vs liberal, radikal vs moderat, fundamental vs inklusif bertebaram dalam isu nasional. Lantas, apa dan bagaimana pengaruh kutub pemikiran keislaman tersebut?
Meminjam istilah Prof. Kuntowijoyo, realitas dua pemikiran di atas adalah gejala sosial. Guru Gembul termasuk karakteristik muslim yang lahir bukan di masjid. Umumnya pemikir Islam lahir di Masjid atau pesantren, Guru Gembul justeru menemukan itu dari pengembaraan bacaannya. Sebagaimana yang ia konfirmasi, ia tak pernah mengecup dunia madrasah apalagi dunia pesantren. Muslim tanpa masjid, begitu istilah Kutowijoyo.
Berbeda dengan Gus Wafi yang memang kental dengan dunia pesantren di Sidogiri. Mudah kita lihat dengan ia ringan mengutip pendapat ulama, baik khalaf maupun salaf di kitab kuning. Kalau menurut Gus Dur, corak pemikiran Gus
Wafi di NU disebut fiqih sentris. Ketika esensi yurispendesi Islam lebih menonjol dari "istilah umum" yang lain. Murni lahir di pesantren.
Hal ini acapkali menjadi perbenturan dalam pengejawantahan dalam pemahaman juga sikapnya. Misalnya, kaum tradisionalis menuduh Guru Gembul orang liberal karena kurang hati-hati dalam menafsirkan literal ayat suci maupun hadits. Hal ini kadang membuat rancu juga hilang orisinalitas esensi kalimat tersebut. Seharusnya, sebagai bentuk kehati-hatian menyadarkan argumentasinya soal ayat suci pada kalam ulama bukan justeru menyadarkan pada logika sendiri.
Sedang di mata mereka yang moderat, justeru pola pikir seperti Gus Wafi tidak relevan, karena kita tahu, ayat suci itu pedoman untuk kaum muslimin. Maka sebisanya menyandarkan sikap dan pada pedoman itu sesuai kemampuan yang ia bisa, hasil dari inkubasi bacaan yang ditulis kalangan cendekiwan Islam. Otoritas itu milik semua muslim bukan hanya elit di Islam.
Itulah kenapa Buya Hamka termasuk orang yang agak jengkel pada tokoh Islam yang kurang simpati dengan proyek penerjemahan al-Qur'an maupun tafsirnya. Padahal itu bentuk transfer ilmu yang baik untuk perkembangan pemikiram muslim. Muslim harus lebih tahu agamanya, apa tidak aneh kalau orentiaslis yang nyata bukan muslim tapi lebih tahu Islam dari kebanyakan kaum muslimin.
Kenapa begitu? Karena orentalis terbuka dengan ilmu terlepas apa coraknya. Mereka melek baca dan mau menggali esensinya. Terlepas ada motif di baliknya. Wajar kemudian, karena asyik tenggelam di dunia keislaman tak sedikit dari mereka menyatakan keislaman dengan penuh kesadaran. Artinya apa? Proyek ini bagus untuk nasib generasi Islam selanjutnya yang butuh sumber kredibel demi bertambah pengetahusnnya seputar Islam. Ironisnya, ada kalangan Islam yang mengharamkan proyek itu!
Singkatnya, Guru Gembul dan Gus Wafi adalah wajah keislaman Indonesia. Di tengan arus moderniasai kita dipaksa untuk survive. Siapa yang pasrah akan tertinggal, dan mau tidak mau harus menerima. Kalau tidak mau terinjak oleh peradaban kita harus mengakomodasi kemajuan zaman terkini.