Tahun ini, lebaran ketupat di kampungku berbeda. Tidak seperti biasanya yang sering seragam, tahun ini terbagi dua. Ada yang merayakan sekarang, karena diyakini rabu depan sudah masuk ke bulan rabiul awwal--- maulid nabi Saw.
Ada pula yang merayakan rabu depan. Dari kalender yang ada, rabu depan itu masih tinggal 30. Artinya masih ada satu hari. Singkatnya, rabu hari ini bukan penutup bulan bulan tapi masih rabu depan yang terakhir.
Kalau kita lacak, apa sebab perbedaan ini. Bisa karena kalender. Kalender yang tersebar ada yang bersumber dengan hisab (perhtiungan manual) atau juga yang ru'yatul hilal (melihat hilal-- tanda-tanda perghantian bulan langsung). Seperti tak ubahnya penentuan hari raya idul fitri saja.
Justeru yang heran, kenapa bisa berbeda di tahun ini. Sejauh yang saya tahu, biasanya tak pernah terjadi. Baru tahun ini ada peristiwa rabu wakasan berbeda. Di sini saya mempertanyakan tokoh agama setempat, ke mana fungsionalnya. Kenapa masyarakat dibiarkan tak terkontrol begini.
Perbedaan bagi para tokoh mungkin hal yang lazim, apalagi ditataran khilafiyah. Masalahnya bagi awam ini jadi tendensi tertentu. Misalnya mereka yang rabu wakasan sekarang manut pada Ulama sedangkan yang rabu depan itu manut pada pemerintah. Ulama sudah pasti benarnya, ya pemerintah di mana benar dengan kapasitasnya itu?
Padahal ya, pemerintah itu hanya namanya saja yang mengurusnya tetap ahlinya yang berlindung di ormas dan lembaga islam yang tercatat. Pemerintah hanya memfasilitasi bukan menentukan, karena mereka paham bukan ahli di situ. Memberi fasilitas agar kompak dan satu suara sehingga terasa rasa kebersamaan.
Saya mempertanyakan ke mana peran tokoh di kampung sendiri, pasalnya pengumuman rabu wakasan di masuola bukan di masjid; dan lucunya, kenapa masjid ikutan juga. Bukannya status masjid secara fiqih jauh lebih tinggi daripada musola ya? Seharusnya, musola yang manut ke masjid bukan sebaliknya. Di sini letak salahnya.
Akhirnya apa? Masyarakat umumnya simpar siur dan bingung. Para tokoh yang tahu bukannya tanggap, yang ada membiarkan saja polemik ini. Padahal semua bisa diselesaikan kalau sekiaranya ada musyawarah demi tercipta kerurukunan juga kedamaian.
Setelah saya ngobrol dengan teman katanya polemik ini tak hanya di kampung saya pun terjadi di kampungnya juga. Dia sampai dibuat bingung juga, mau ikut ke mana. Mau ikut, logika kok serasa kurang sreg. Tak ikut juga takit dilihat tak bermasyarakat. Di sini letak paradoksnya. Saat yang tahu tidak sigap mengontrol kemungkinan keresahan masyarakat.
Sebenarnya, lebaran kupat di rabu wakasan ini hanya tradisi masyarakat yang sudah ada. Kalau kita cari sejarahnya dari mana, terus rujukan pastinya dari mana. Hampir sukar. Rabu wakasan ini tradisi yang diciptakan ulama yang bernunansa Islam.