Kamu lihat, malam kian larut. Langit seupama wajah penuh jelaga. Di antara semburat bintang, aku masih terjaga. Menatap sinar purnama yang tak seelok kemarin, terasa ada sejumput luka yang entah apa.
Kamu kenapa, lagi pertanyaan itu. Serasa menjemukan. Di saat aku tengah menggapai mimpi. Meraba asa. Menanam langakah untuk hari esok yang lebih elok. Kamu bermuram durja dengan segala teka-teki.
Apa karena buku?
Aku jadi ingat kisah Imam Sibaweh yang diceritakan Gus Baha. Saking cintanya menulis kitab sampai mengabaikan isterinya. Ketika Imam Sibaweh ke pasar untuk memberi kertas dan tinta, kitab yang sudah ditulis dibakar oleh isterinya. Betapa berangnya ulama ahli alat itu, lantas isterinya di talak.
Apa kamu seperti itu juga? Kayaknya sih engga. Pertama, aku bukan ulama. Kedua, aku tak mumpuni soal ilmu. Ketiga, semampunya aku memberi waktu ke kamu. Ya sih, sungguh singkat.
Masalahnya, kita tak selamanya merasa baik-baik saja dengan segala tanya di hati kita. Dengan pikiran yang menggelayut di kepala kita. Dengan aneka resah yang merasuk di kedalaman damai jiwa. Kita butuh ruang di mana kita melunakan apa yang kita keraskan.
Apa yang kamu pikirkan, katamu. Aku tengah memikirkan nasib Indonesia. Memikirkan apa yang sudah aku lakukan negeri tercinta. Apa pula yang sudah kita lakukan untuk ke jenjang yang lebih serius. Bukankah semua masih serumpun tanya yang tak jua dilabuhkan ke mana.
Semua masih misteri yang acapkali kita melenguh jengkel. Di waktu tertentu kita berdebat dengan segala warnanya. Kita ingin sama-sama menang, dan sama-sama capek saling mengeraskan pikiran. Tiba-tiba kita tersenyum, hari ini kita merasa semua seperti segenggam bara api di tangan. Tapi dulu, ingat sekali, apa yang kita pertahankan sekarang adalah proses penuh kelucuan pun menyenangkan.
Kalau kita bertanya ada apa. Tak ada apa-apa sebenarnya. Hanya saja kita tengah merangkak menuju sejengkal demi sejengkal mimpi kita. Apa akan kita patahkan atau justeru tetap kita rawat dengan kehangatan. Mau sama-sama menyirami rasa jengkel. Menyingsingkan ego untuk tidak pura-pura tak ada apa-apa.
Padahal kita tahu, ada toxic di antara kita. Untuk menguji tentunya, seberapa kuat dan yakinnya kita. Di atas langit masih ada gelap. Bukan gelap itu yang harus kita singkirkan. KIta yang harus berusaha menyalakan cahaya agar tetap terjaga. Meski angin kerapkali mengecoh. tapi percaya saja, semakin kencang tiupanna semakin manis pula akhirnya. Wallahu'alam. (***)