Lihat ke Halaman Asli

Mahyu Annafi

Guru Ngaji

Hari Lahir Merdeka

Diperbarui: 23 Agustus 2024   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber RRI.


Di hari merdeka kemarin, saya merasa lemas. Lemas bukan karena memikirkan Pilkada yang sesudah pilpres bau banget dengan KKN. Bukan memikirkan pula Anies yang ditinggalkan partai yang mengusungnya karena sebab yang entah, di detik-detik yang cukup menentukan.

Di hari 17 itu saya tengah dikerok-in. Badan saya lagi tak karuan. Aktivitasnya tak lain tiduran, sesekali baca buku dan lebih banyak meringis menerima kenyataan. Bukan kenyataan soal dinasti politik loh. Soal itu mah, ya sudah jadi obrolan warung kopi.

Ada banyak yang ingin saya tulis dan lebih banyak yang berakhir di angan doang. Gimana mau menulis dan mikir, mikirin kondisi tubuh saja cukup menguras emosi. Apalagi kalau ditambah memikirkan dinamika politik, bisa-bisa tubuh seperti seonggok daging yang banyak tulangnya. Kurus lebih tepatnya.

Di masa hibernasi itu, saya melihat perayaan agustusan di kampung sendiri kurang menarik. Ada sih lomba tapi di RT sebelah. Ada sih lomba, di kantor desa. Di RT sendiri, entahlah.

Adik saya sampai bertanya, kenapa gak ada lomba. Katanya pengurus kepemudaan. Saya hanya menukas, di kampung sendiri yang dibutuhkan bukan ide tapi dana. Orang lebih butuh makan daripada nasihat. Adik saya hanya mengangguk sok paham, walau saya yakin tak paham seperti saya juga yang sok-sok bijak.

Sebagai orang rumahan, yang banyak bergumul di dalam rumah, memang tak mudah kalau harus berinteraksi dengan warga sekitar. Apalagi menggerakkan masa. Hal yang ditakutinya kalau diabaikan pas ngomong, bisa-bisa dianggap benalu. Idealnya kan, punya ide dan berani melakukannya. Tak sekedar bicara saja.

Sedangkan saya termasuk orang yang banyak bicara dan miskin langkah, bagaimana nanti orang mau percaya dinilai nanti, "hah, banyak ngomong doang tapi tak ada gerak apa-apa." Berabe banget, kan?

Keinginan saya sih sederhana, gimana caranya acara perayaan HUT Ri itu semaraknya seperti dulu. Tidak terjebak pada fanatisme. Tidak kenal RT mana dan keluarga siapa. Namanya kemeriahan bersama. ya seharusnya bersama-sama meramaikannya. Tujuannya, bukan siapa yang yang menang dan seberapa hadiahnya, tapi seberapa meriah menjalin persaudaran dengan sesama warga.

Kalau di ukur seperti apa hadiahnya memang kurang seimbang. Lagi-lagi kan, acara HUT RI tujuannya untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Syukur-syukur menggali penghormatan kepada pahlawan bangsa. Seharusnya begitu. (**)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline