##
Minggu ini, ada salah satu putera Pandeglang yang menjadi salah satu kandidat di acara Somasi-nya Om Ded itu. Saya tidak akan menyebutkan namanya, bagi kamu yang sudah menonton pasti tahu. Meskipun dia ada di posisi buncit dari tiga peserta, kalah. Sebagai orang Pandeglang saya mengapresiasinya. Bukan soal kalahnya tapi berani ngongolnya itu.
Ternyata, dia teman satu tonkrongan dengan adik saya di komunitas Indie Stand Up di kota kami. Entah kebetulan atau gimana adik saya ikut menemaninya di acara yang lumayan prestisius itu. Tentu saja, tulisan ini tidak sedang membahas adik saya, karena dia cuma menonton dan ikut selfie sama Om Ded doang. So, kurang penting, bukan? Hihi.
Apa yang dia sampailkan kemarin itu cukup mewakili uneg-uneg kami warga di Pandeglang. Dengan bicara di platfrom segede itu ada harapan besar pastinya. Misalnya di sana dibahas soal politik di Pandeglang masih dinasti. Dari suami, turun ke isteri terus mungkin ke keluarga suami. Nanti ke siapa lagi? Mungkin ke anaknya. Itu bukan rahasia lagi.
Maka katanya, nanti setiap rapat bukan "rapat kerja" tapi "rapat keluarga" jadinya. Satire banget bukan. Terlalu banyak persoalan di Pandeglang, tapi belum semuanya mampu dituntaskan. Dari jalan yang bolong-bolong sampai kualitas pendidikan masih belum mapan. Semoga ada perbaikan.
Kesadaran terhadap melek literasi masih jauh dari panggang dan api. Bahkan sampai sekarang, versi saya, sebutan kota santri pun masih dilematis karena bertabrakan dengan kota wisata. Sisi lain sekarang pemerintah daerah menggenjot sektor wisata dengan tagline kota wisata itu, namun terlanjur ada tagline kota santri. Kurang lebih ada 3000-an lebih pondok di Pandeglang. Itu kata kepala dinas pariwisata, di acara yang saya ikuti.
Tinggal di Pandeglang itu kurang menyenangkan, katanya. Dengan kenyataan sosial dan ekonominya pastinya. Walaupun jujur, sebagai orang yang hidup dan besar di Pandeglang saya kurang setuju. Bagimana pun soal senang dan tidak kan, tergantung persfektip kita. Letaknya relatif, jadi menghukumi global tentu saja rancu. Toh saya, fine saja.
Saya tahu, hal ini sebagaimana survey yang menempatkan Banten di antara kota yang kurang bahagia. Indikatornya di antaranya, tingkat keamanan dan kualitas penndidikannya masih rendah. Tentu saja, ekonominya yang kurang meroket seperti ujar Pak Jokowi.
Kemiskinan di Banten seperti "diternak" agak tetap ada karena tidak ada keseriusan pemerintahannya mengelola dan mengatasinya. Itu bukan kata saya, tapi kata muda Banten di acara literasi di Serang. Geliat membangun Banten katanya, banyak yang masih jargon dan belum menyentuh akar dari masalah itu untuk diperbaiki..
Ngomong-ngomong dinasti kekuasaan di dunia politik, itu kan rahasia umum. Tidak hanya terjadi di Banten pun Pandeglang, di kota lain pun sama. Bahkan yang terhangat, masuknya anak dan mantu Pak Jokowi di kancah politik membuktikan KKN adalah tontonan nyata.
Kalau dulu, di tahun 2017-an ramai-ramai pendukung Pak Jokowi memujinya karena tidak "mamakskan" anak dan mantunya untuk terjun ke dunia politik. Justeru mereka sibuk terjun ke dunia bisnis, tentu itu sebuah kebanggaan. Pak SBY di bully oleh banyak netijen karena "memaksa" Agus Harimurti ikut kontestasi di Pilkada Jakarta. Resikonya, cabut di dunia militer. Padahal di sana sedang harum-harumnya.