Lihat ke Halaman Asli

Mahyu Annafi

Guru Ngaji

Antara Orangtua dan Pasangan, Siapa yang Harus Diutamakan?

Diperbarui: 19 Juni 2024   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Saat harus memilih pasangan dan orangtua. (Pixabay.com/kazuma seki)

Sekitar sebulan lalu, saudara sepupu saya di kota pulang. Ia meminta bantuan ke saya agar dicarikan "orang pintar" untuk mengobati anaknya.

Penasaran dong saya, ada apa dengannya anaknya. Setahu saya sedang bahagia dengan suaminya. Penghasilan lumayan, punya rumah dan tinggal cuma berdua karena statusnya mantunya itu yatim paitu karena ibu-bapaknya sudah berpulang lebih dahulu.

Lama-lama ia menceritakanlah bahwa selama ini mantunya itu dari kecil dirawat sama tantenya. Tantenya ini sudah seperti ibunya, mengurus berbagai hal tentangnya sampai sekarang ia memiliki isteri.

Terus masalahnya apa? Masalahnya itu karena tantenya sudah seperti ibunya otomatis serba mengatur sana-sana. Okelah kalau dulu selagi kecil sampai lajang, dimaklumi kalau masih mengatur. Masalahnya sekarang, ponakanya itu sudah punya kewajiban. Ia sudah suami dan nanti bakal jadi bapak untuk anak-anaknya. Makanya, monopoli tak relevan lagi.

Lalu untuk apa datang ke orang pintar? Sederhana, agar mantunya tak bergantung ke tantenya lagi pun tantenya sama agar tidak lagi terlalu ngatur sana-sini soal kehidupan "anak asuhnya", baik soal karir, gaji dan sikapnya.

Mendengar ini saya agak kaget, kaget pasti tidak mudah ada diposisi mantunya. Saya memahami keinginan saudara di kota itu tak 100% salah. Wajar dong, ia berharap anak dan mantunya mandiri. Mandiri dalam bersikap dan mengatur soal kehidupannya.

Apa jadinya kalau tantenya terus mengungkung ponakannya, di fase di mana ia sudah tak seperti dulu lagi. Kalau terus begiu bukanya tak membuat nyaman isterinya. Benar ia orang baru di hidupnya, tapi ia orang yang mungin selamanya bersama. Ia punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Dosa orang yang mengabaikan hak isterinya, sekecil apa pun itu.

Di sisi lain mengabaikan tantenya sama saja seperti "kacang lupa pada kulitnya". Selama ini tantenya mencurahkan sebagian waktunya, siang dan malam. Ia tak ubah seperti anaknya sendiri yang tiap saat terjaga untuk melihat kembangnya.

Coba bayankan saat ia demam, malam-malam meerengek dan menangis tak karuan. Tantenya ada di sampingnya setia menemni. Ia bisa berakrir pun bukannya karena nasihat dan motivasinya tantenya.

Sejauh ini ia meraskana itu, maka apa rasa tantenya kalau "dipisahkan" dengannya. Betapa sedih dan kecewa hatinya. Betapa terpukul, pedih dan tercabik jiwanya. Di sini letak simalakama antara harus mendengarkan ingin pasangannya atau mengabaikan tantenya demi kerukunan hubungannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline