Langit biru berteman putih menampakkan kegembiraan dan semangat matahari menyinari bumi. Menapaki jalanan dengan rekan-rekan menggunakan kendaraan roda dua yang kami miliki. Sebelah kanan tebing menjulang tinggi.
Di sebelah kiri jurang ratusan meter dengan lereng terjal dan menukik. Belum lagi di hadapkan dengan tanjakan Thothot dengan kemiringan lebih dari empat puluh lima derajat dengan tepi sebelah kanan jurang ratusan meter seolah seperti mulut singa yang menganga.
Menyelusuri perbukitan ini untuk pertama kalinya bukanlah hal yang mudah dilakukan apalagi bagi wanita seperti saya. Perlu keahlian berkendara dan keberanian besar untuk sampai kesana. Kekaguman akan indahnya pemandangan yang Tuhan ciptakan dan istighfar sepanjang jalan dengan medan yang harus kami lalui.
Entah mengapa tempat ini yang saya pilih waktu itu padahal saya tahu daerah ini akses jalannya memang sulit namun tidak pernah saya bayangkan ternyata sesulit ini. Mungkin Tuhan memberikanku rejeki disini, di desa ini. Belajar bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan kepada saya.
Petir adalah salah satu desa di kecamatan Purwanegara,Banjarnegara Jawa Tengah ,Indonesia. Jarak Desa Petir dengan pusat kecamatan sejauh 11 km. Sedangkan jarak dari kota kabupaten lebih dari 22 km arah barat daya.
Selain karena infrastruktur dan jalan,penduduk daerah Petir sebagian besar juga masih dibawah garis kemiskinan. Sehingga Desa Petir masih dikategorikan sebagai salah satu desa sangat tertinggal di Kabupaten Banjarnegara.
Setelah sampai di puncak Thothot yang sangat terkenal kengerian jalannya, kami harus menyelusuri lembah sekitar 500 meter dan kembali naik unuk sampai di satu-satunya sekolah dasar yang ada di dusun Kayubima, SD Negeri 4 Petir.
Sekolah yang tidak sebagus sekolah di tempat lain. Rasa bangga bisa sampai di sekolah ini dan bahagia menyambut tangan-tangan kecil yang antri bersalaman adalah kebahagiaan tersendiri. Rasa lelah karena perjalanan yang kami lalui hilang menatap senyum mereka.
Rumah yang tersebar di lereng-lereng perbukitan . Rumah-rumah yang tidak terlihat namun dengan jumlah siswa lebih dari seratus tentunya penduduk dusun ini tidak sedikit.
Kondisi jalan setapak tanah tidak menyurutkan langkah. Setiap hari mereka harus turun naik bukit dan lembah untuk sampai di sekolah. Sampai di sekolah dengan sepatu kotor dan baju basah bermandikan keringat.
Saat musim kemarau tiba, banyak hal yang harus dihadapi. Jalanan berdebu dan udara terasa begitu panas menyengat kulit. Tidak sampai disitu, kekurangan air menjadi satu masalah tersendiri.