Dapatkah kita menghitung berapa banyak hadiah atau reward yang pernah kita terima saat hidup? Masih ingat momen-momen ketika kita mendapatkannya? Mungkin senang, bahagia, atau bahkan haru. Yah, setiap kita pasti suka akan hadiah atau reward tersebut. Dan hadiah ini dipandang sebagai suatu hal yang penting, tidak terkecuali di dunia pendidikan.
Teori tentang reward dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang baru. Bahkan relasi ini dapat kita temui gaungnya dalam teori yang dirumuskan Ivan Petrovich Pavlov yakni “Classical Conditioning”. Di mana hadiah ini, sengaja diwujudkan sebagai faktor penentu dalam membentuk pola perilaku.
Teori tersebut memandang hadiah merupakan bentuk stimulus. Dan perilaku yang diharapkan adalah sebuah respon.
Dari penelitian Pavlov, kita dapat mengambil inti bahwa, hadiah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
Disini, saya tidak hendak mendebat teori garapan Pavlov dan beberapa orang yang telah menyempurnakannya. Dulu bahkan saya termasuk pemuja teori reward ini. Namun, lambat laun, kepercayaan saya bergeser. Tatkala mencoba membuka mata dan telinga, pada protes-protes yang dulu saya anggap tidak penting, terkait dengan hak prerogatif guru dalam memberikan hadiah.
Konkrit masalahnya begini, ketika memberikan reward pada salah satu siswa di kelas, pasti ada beberapa siswa lain yang komplain. Atau bahkan komplain disampaikan oleh si penerima reward tersebut, terkait jenis reward yang ia dapatkan. Awalnya saya anggap ini biasa. Dan anggapan saya ini, rasa-rasanya jamak dimiliki oleh para pendidik lainnya. Namun seiring berjalannya waktu dan intensitas protes yang terus meningkat, saya juga sedikit berpikir, sedikit, yah dikit banget. "Ada yang tidak beres gaes".
Dari situlah, refleksi terkait reward muncul. Niat baik, nyatanya tidak selalu berbuah manis, sedikit asam atau busukpun biasa. Bahkan kadang buahnya hilang, dimakan kalong, eh.
Komplain-komplain dari siswa lain (yang tidak dapat reward), agaknya membuat sadar. bahwa apa yang saya lakukan dapat memicu perasaan iri. Tersisihkan. Bahkan, bukan tidak mungkin hal ini menjadi benih sebab terjadinya bullying.
Bagi mereka yang dapat reward, reward juga bisa menimbulkan kecemasan. Loh kog cemas? Kan dapat hadiah, kenapa bisa cemas? Yah, hal itu bisa terjadi tatkala reward tidak dilakukan secara konsisten. Siswa mengalami ambiguitas di kontruksi berfikirnya, ada kebingungan saat ia melakukan sesuatu, namun tidak mendapat reward. Tidak semua siswa, tapi tidak menutup kemungkinan ada kondisi psikologis yang demikian.
Jadi? Reward harus diberikan secara terus menerus? Eits, tidak semudah itu Ferguso. Reward yang dilakukan secara terus menerus juga akan menyuburkan rasa pamrih pada siswa. Ia selalu berharap untuk mendapat reward dari gurunya. Lebih ekstrim lagi, reward ini bisa diumpamakan bensin bagi motor. Tanpanya? Ambyar bos.
Saya punya pengalaman menegangkan terkait reward. Begini ceritanya. Pada pagi yang sedikit mendung, saya memberi penugasan proyek bagi siswa. Di tengah-tengah keasyikan saya memaparkan tugas proyek tersebut, ekor mata saya melirik beberapa kelompok siswa, yang tengah asyik berdiskusi, seolah-olah merencanakan rancangan tugasnya. Ada rasa bahagia di hati, “wah, model pembelajaran yang saya pilih tepat nih, anak-anak antusias banget” batin saya.