Lihat ke Halaman Asli

Badar dan Bi'in (1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Namaku Badar, ayahku sopir pribadi Pak Haji Tohir, jagal sekaligus pedagang daging sapi di pasar Wage. Ibuku jualan jajanan di pasar yang sama. Aku anak pertama, adikku perempuan baru berumur tiga tahun waktu aku duduk di bangku kelas 1 SMP eN-O (baca : Nahdlatul Oelama’). Aku punya tas sekolah walaupun cuma bekas kantong sepatu Adidas. Karena sudah cukup lama kupakai akhirnya bolong juga bagian pojok bawahnya. Tapi masih bisa dipakai, karena bolongnya bisa ditutupi dengan telapak tangan sambil ditenteng.
Ayahku hanya punya sebuah sepeda, itu juga katanya warisan dari kakekku dulu. Sepeda itu yang dipakai ayah berangkat kerja ke rumah pak haji. Ayahku belum punya cukup uang untuk membelikan sepeda buat aku, makanya berangkat sekolah aku harus pagi-pagi supaya bisa nunut temanku.

Ayahku tidak punya banyak waktu libur. Pak haji sering mengajak ayah mengaji kitab kuning di pesantren kyai Abdullah. Hal itulah yang membuat pengetahuan dan keyakinannya terhadap agama Islam sangat kuat. Wajib buatku sebelum maghrib tiba harus sudah ada di musholla untuk belajar mengaji. Karena itu jugalah yang membuat ayahku tidak terpikir sama sekali menyekolahkan aku ke SMP Negeri.
Belajar agama itu penting!, itulah pesan ayah yang selalu kuingat sampai sekarang.
Aku punya teman seusia, namanya Bi’in. Kondisi keluarganya juga tidak jauh beda dengan keluargaku. Adiknya empat masih kecil-kecil. Ayahnya buruh di kebun tebu, ibunya buka warung pecel dirumah. Untuk membantu ekonomi keluarga, ia sering jualan ayam kampung barang satu dua ekor yang dibeli dari para tetangga. Selepas sholat subuh ia berangkat ke pasar, atau biasanya di tengah jalan ia bertemu pedagang ayam bersepeda dengan keranjang kanan kiri. Aku ingin juga berjualan seperti temanku itu, tapi aku belum cukup pengetahuan mengenali ayam sehat atau sakit. Jangan-jangan yang aku beli ayam sakit malah tidak laku dijual.

Di dalam benakku selalu terpikir, bagaimana caranya aku bisa cari uang sendiri. Aku ingin beli buku pelajaran sendiri. Aku sering malu sama teman-teman, buku yang aku pinjam bekas dari kakak kelasku sering tidak cocok dengan pelajaran yang disampaikan pak guru.

Suatu hari libur sekolah, aku menyewa becaknya pak Pono. Baru keluar jalan raya, becak yang kukayuh tak terkendali dan menabrak pohon asam jawa. Becakpun terguling dan aku ditertawai orang-orang disekelilingku. Sambil menahan malu aku bangunkan becak yang roboh dan kukayuh lagi. Ternyata aku butuh penyesuaian, karena baru kali itu aku mengayuh becak. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan dua orang calon penumpang, lumayan pikirku. Kuantarkan penumpang itu ke tujuannya. Hari itu pertama kali aku dapat uang dari hasil keringatku. Aku kembali mencari calon penumpang, sampai tak terasa aku tiba di alun-alun kota. Disana rasa capekku tak tertahan, aku istirahat sesaat di pinggir alun-alun sambil menunggu penumpang.
Satu jam berlalu tapi aku belum lagi dapat penumpang, karena disekitar juga banyak tukang becak yang mangkal. Mereka sepertinya menatapku sinis. Aku tahu, mereka tidak suka karena aku dianggap orang baru yang akan mengurangi penghasilannya hari itu.

Bersambung......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline