Lihat ke Halaman Asli

Jangan Bunuh Anakku di Rumahku Sendiri

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Piye si kecil bu, masih anget badannya?” “gimana bu, si kecil masih hangat badannya?” tanyaku pada Ratih, Istriku. Seingatku Ratih tak pernah mengeluh sedikitpun tentang nasib yang kami alami. Setidaknya di depanku. Kalaupun dia mengeluh aku sangat memaklumi. Sejak kami menikah 5 tahun yang lalu aku belum bisa membahagiakannya. Dua tahun setelah kami menikah, tepatnya ketika anak pertama kami, Tegar, berumur satu tahun, kami resmi menggelandang dari satu emperan toko ke emperan toko yang lain. Penghasilanku tak cukup untuk menyewa kamar yang paling sempit sekalipun. Dulu waktu Ratih masih bisa jadi pemulung sehari penuh, penghasilan kami berdua cukup untuk menyewa sebuah kamar. Meski sangat sempit tapi setidaknya lebih baik dari keadaan kami sekarang.

“masih anget pak” jawab istriku sambil memasukkan beberapa kain dalam tas kumal. Di samping tas kumal itu ada beberapa buntalan pakaian kami yang lain. Kami harus segera bergegas, tak satupun bintang yang terlihat, mungkin sedang mendung, jadi sebelum hujan datang malam ini kami harus segera pergi ke tempat istirahat kami yang biasa. Aku taruh semua barang-barang di lantai becak, aku bantu Tegar duduk di samping ibunya sementara istriku menyusui si kecil yang sedang sakit. Sudah seminggu ini demamnya tak turun-turun. Ku kayuh becakku sekuat tenaga. Seharian ini aku hanya mendapatkan Rp. 15.000. Uang sebanyak itu tak cukup untuk ongkos ke dokter dan menebus obat. Hujan akhirnya turun juga malam ini. Cepat-cepat aku berhenti dan menurunkan penutup becak untuk melindungi Tegar, si Kecil dan Ibunya dari air hujan. Aku sendiri dengan cepat memakai jas hujan dan caping. Masih setengah perjalanan lagi. Tempat istirahat kami berada di sebelah minimarket yang buka 24 jam. Itu bukan rumah kami. Itu emperan toko yang kosong pada malam hari. Sudah 2 bulan ini kami pindah ke sana. Sebelumnya kami berpindah-pindah. Hanya tempat ini yang sudah tutup dari pukul 18.00. Kami bisa istirahat lebih lama di sana.

Hujan cukup deras malam ini dan cukup untuk membuat mataku sulit melihat apa yang ada di depan. Motor berlalu lalang dengan terburu-buru. Mobilpun tak mau kalah. Air hujan merepotkan pandanganku. Jadi kuputuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan. Aku pinggirkan becakku tepat di depan kampus swasta yang megah. Aku tak peduli dengan tanda dilarang parkir. Aku periksa penutup becak kembali kalau-kalau ada air yang masuk ke dalam. Ranting pohon di atasku cukup membantu. Hujan tak sederas di bawah pohon ini, cukup lembut.

“Kok mandek pak?” istriku tanya “kenapa kok berhenti?”

“udane deres bu, aku rak iso nyawang dalan” . Aku bilang pada Ratih kalau hujannya deras dan mataku tak bisa melihat jalan di depan.

“ooh” jawab Ratih. Laki-laki macam apa aku ini. Aku hanya bisa membuat istriku menderita. Ya Tuhan .. kau buat dari apa hati istriku. Tak pernah sedikitpun dia protes walaupun dia sepenuhnya punya hak untuk itu. Seharusnya dia bersuami orang yang lebih baik dariku. Aku lihat Tegar tidur bersandar pada bahu Ibunya. Ratih terlihat mulai mengantuk. Aku duduk mematung di atas trotoar di samping becak. Entah apa yang kupikirkan. Sudah sejauh ini hidupku belum benar-benar baik. Aku mengayuh becak setiap hari, Ratih menjadi pemulung. Karena anak kami sudah 2, Ratih tak bisabekerja setiap hari. Penghasilan kami berdua sangat tak cukup untuk hidup layak. Aku sendiri tak mengerti apa arti dari hidup layak. Secara materi kami memang sangat tak baik, tapi secara batin aku pikir kami cukup bahagia. Itu menurutku. Berkali-kali aku minta maaf pada Ratih. Minta maaf karena tak pernah membuatnya bahagia.

“Kang, aku bersedia menikah dengan kang Manto bukan karena apa-apa kang, karena aku lihat Kang Manto cukup bisa menyayangi kami dan bertanggung jawab kepada kami semua, itu sudah lebih dari cukup”. Itu jawab Ratih suatu hari. Tak kurang dan tak lebih. Dalam keluarga kami justru akulah yang sering menangis. Justru akulah yang cengeng, bukan Ratih.

Tumpahan air yang deras tadi sudah berganti dengan rintik-rintik kecil. Samar-samar terdengar bunyi sirine. Sepertinya mobil ambulan. Di ujung jalan di depan lalu ke kiri memang ada sebuah Rumah Sakit Swasta yang besar, begitu juga di ujung jalan ini dekat kampus negeri, juga terdapat Rumah Sakit Swasta yang sama besarnya. Banyak sekali tempat berobat di sini tapi aku tak bisa membawa anakku kesana. Meski aku lahir di kota ini, begitu juga Ratih sama sekali tak seperti pemilik kota ini. Bunyi sirine semakin jelas terdengar. Bukan mobil ambulan melainkan mobil patroli polisi. Tak hanya satu, tapi tiga mobil sekaligus. “ Mungkin akan ada operasi besar” pikirku. Ketiga mobil berbelok kekiri lalu masuk ke kampus yang berada di belakangku saat ini. Dua polisi berbadan besar menghampiriku.

“Pak, Jangan mangkal cari penumpang disini ya. Rombongan pejabat mau ke kampus, mereka gak suka lihat yang kesemrawutan” kata polisi dengan perut membulat.

“Ngapunten pak, saya gak cari penumpang, saya tadi cuma numpang berteduh” jawabku. Belum selesai aku menjawab, kedua polisi itu sudah ngloyor pergi. Aku tak mau kena masalah di sini. Aku kayuh becakku sekuat tenaga. Hujan masih menyisakan rintik-rintik. Jalanan sudah terlihat jelas. Aku bisa leluasa melihat. Sebentar lagi kami akan sampai di tempat istirahat kami. Sementara suara sirine terdengar lebih jelas di belakang kami. Mobil polisi yang menegurku tadi kini berada di belakangku. Dengan suara keras menyuruhku minggir dulu karena ada mobil pejabat yang akan lewat. Bukan aku tak mau menepi, tapi becak bukan kendaraan bermotor yang tinggal injak atau putar setang langsung bisa jalan. Aku harus menepi pelan-pelan, terlebih anakku sedang sakit. Kalau anakku terkena air hujan mungkin demamnya bertambah tinggi. Aku mencoba menepi dengan hati-hati lalu berhenti tepat di samping trotoar. Jalan becakku yang pelan membuat mobil rombongan pejabat berjalan sedikit pelan sementara jalan untuk dua arah.

“Pak, hormati pejabat dong. Jangan pake jalan seenaknya” kali ini pengawal pejabat yang menegurku.

“maaf pak” aku hanya bisa menjawab seperti itu.

“Pak ... demamnya tambah tinggi” istriku berkata sambil menggoyang-goyangkan penutup becak. Aku buka penutupnya. Terlihat istriku sedang mendekap erat si kecil. Tegar sedang terlelap di sampingnya. Tas dan buntalan pakaian kami terlihat basah. Bapak pengawal pejabat hanya melihat saja lalu pergi, bergabung dengan rombongan pejabat yang sedang ia kawal. Tak ada yang ia katakan pada kami. Aku pun tak berharap ia mengatakan apapun. Air kembali tumpah ruah dari langit. Segera kututup penutup becak lalu kembali melanjutkan perjalanan ke tempat istirahat kami.

Ternyata toko masih buka. Kami tak bisa menumpang istirahat di emperannya. Hujan terlalu deras, aku tak mungkin cari tempat lain. Kusuruh istriku tetap di becak, sementara kudorong becak ke depan toko sebelah yang sudah tutup. Tempat ini tak nyaman karena atap tokonya tak besar, jadi tempias air masih mengenai kami. Tak apalah, ini lebih baik daripada kami harus kehujanan untuk mencari tempat baru. Aku pamit sebentar untuk mencarikan teh hangat untuk mereka. Di gang belakang toko ini ada warung kecil yang menjual teh hangat dan beberapa makanan. Hanya Rp. 15000 yang kupunya hari ini. Aku harus sisihkan beberapa untuk kukumpulkan buat si kecil berobat. Meskipun tak bisa kubawa ke dokter tapi bisa ku bawa ke Puskesmas, lebih murah dari dokter. Aku harus menunggu pagi. Puskesmas tidak buka malam-malam begini. Aku pun tak bisa ke rumah sakit, terlalu mahal untukku. Setelah membayar Rp. 6000 untuk dua bungkus teh hangat, dua bungkus nasi putih tanpa lauk dan dua bungkus kerupuk, aku langsung menemui istri dan anakku.

Air masih tumpah ruah sampai saat ini. Jam di minimarket 24 jam menunjukkan pukul 08.00. kami sudah di emper toko yang lebih besar. Toko yang biasanya emperannya kami tempati sudah tutup jadi kami bisa leluasa istirahat. Kain jarik sudah aku rentangkan di sekitar tempat istirahat kami, menghalangi pandangan orang kepada kami. Aku tak mau keluargaku jadi tontonan orang yang sedang melintas di depan toko. Aku tak mau menjual belas kasihan dengan memperlihatkan anak dan istriku yang sedang tidur di emperan toko. Tikar plastik dan dua selimut menjadi penghangat mereka. Aku kadang tidur di samping mereka atau tidur di becak. Inilah surga kami tiap malam. Tempat dimana kami bisa mengistirahatkan segala kepenatan sedari siang sampai sore. Bercerita segala kebahagiaan yang kami terima hari ini. Mengajak Tegar bercerita sebelum dia tidur. Memandanginya dengan leluasa. Mendoakannya selagi ia terlelap. Hiruk pikuk jalanan tak kami pedulikan. Kami punya dunia sendiri yang tak bisa dipahami oleh orang lain. Mencium kening istriku selagi ia tidur. Mengenang segala kebaikan dan kesabarannya. Jika Tuhan memintaku menukar hidupku dengan kebahagiaan mereka, aku sangat siap. Aku jarang berdoa agar Tuhan memberi kami cukup harta, aku hanya meminta Tuhan menguatkan punggung kami agar kami bisa bertahan dalam situasi paling genting sekalipun. Kami terbiasa miskin. Tuhan tak akan membiarkan kami selamanya seperti ini. Sesekali kami protes. Kami anggap itu suatu kewajaran. Aku selalu berharap Tuhan menjaga kami dalam kesehatan karena hanya ini modal kami untuk bisa bertahan hidup dan anakku sedang sakit sekarang. Tak ada yang bisa diharapkan di kota ini selain Dia. Aku jadi gelandangan di rumahku sendiri.

Pukul 08:30. Hujan berpihak pada kami. Hanya rintik-rintik air yang jatuh. Demam si kecil makin tinggi. Tak lepas-lepas istriku mendekapnya. Tak penat-penat aku berdoa. Hiruk pikuk jalanan sudah hilang, menyisakan suara sirine di ujung jalan. Warung tenda sudah banyak yang tutup. Hujan sejak sore tadi hanya meninggalkan keheningan. Tak banyak pengunjung. Beberapa toko masih buka. Mata istriku sudah mulai basah. Air matanya menganak sungai. Ini pertamakalinya aku melihat matanya basah air mata. Meski makan seadanya, tapi Tegar jarang sakit.

“Pak ... kok demamnya gak turun-turun” kata istriku sambil menenangkan si kecil yang mulai gelisah.

“sini bu .. biar aku yang gendong” aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku juga mulai gelisah.

“besok kita bawa ke puskesmas bu” saranku pada Ratih. Aku seperti berbicara sendiri. Ratih tak menjawab. Dia hanya melihatku dan si kecil. Tak ada yang ia katakan. Suara sirine terdengar bersahut-sahutan. Tanpa kusadari air mataku jatuh satu-satu. Ratih hanya mematung. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Kematiankah? Hutang yang menjerat kami nanti? Aku tepiskan pikiran itu buru-buru. Malam berubah merah. Sinar lampu sirine menerobos jalan, berpendar-pendar merah. Lampu mobil-mobil mewah menerangi jalanan, mobil rombongan pejabat. Aku taruh si kecil di dekapan Ratih dan berdiri melihat keadaan.

“mau kemana pak?” tanya Ratih kaget. Aku tak menjawab, membiarkan Ratih dan pikirannya. Dengan mantap aku menantang mobil-mobil mewah itu di tengan jalan. Melambai-lambaikan tangan pada mereka.

“Paaak tolong kami, anak saya sedang sakit ... Paaak” aku berteriak sejadi-jadinya. Sambil menghalangi cahaya lampu mobil yang menyilaukan mataku. Mobil-mobil berhenti. Dua petugas menemuiku dan mencengkeram kedua lenganku. Tak kuhiraukan perkataan mereka supaya aku menepi. Aku kembali berteriak lebih keras. Cengkeram mereka jauh lebih kuat dari sebelumnya. sambil berteriak kuacungkan jariku ke arah anak dan istriku. Mencoba berkata dan berontak sekuat tenaga agar mereka mengerti maksudku. Satu petugas memukul perutku dan yang lain memukul punggungku. Perih dan sesak nafasku. Aku tak menyerah. Aku berontak sekuat tenaga berteriak kembali supaya mereka menolongku. Air mataku jatuh sekali lagi. Tak ada yang keluar dari mobil-mobil mewah itu. Tak ada kata-kata dari dalam mobil-mobil mewah itu. Aku berhenti di tepi jalan dengan luka memar di wajah dan punggungku. Sudut bibirku berdarah. Dua tangan masih mencengkeram kedua lenganku. Mobil-mobil mewah hanya melewatiku. Ratih tak berkata apa-apa. Hanya matanya yang berbicara, merah dan basah.

Aku menguburkan si kecil pukul 08:30 pagi. Tanpa upacara apapun. Hanya kami bertiga yang ada dipemakaman. Tak ada tangis tak ada ucapan belasungkawa dan tak ada berita kematian. Dunia kembali dengan warnanya semula.

Yogyakarta, 6 desember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline