Lihat ke Halaman Asli

Komidi Putar

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bis yang aku tumpangi ini penuh sesak. Hampir tak ada ruang tersisa di kotak besi ini. Semua kursi terisi penuh. Penumpang yang tak mendapatkan kursi harus rela bergelantungan di bagian tengah. Ini hampir jam enam petang tapi aku masih di perjalanan. Tragedi lumpur panas Sidoarjo membuat perjalanan Surabaya – Malang yang semula bisa ditempuh kurang dari dua jam kini bisa mendadak menjadi dua jam setengah bahkan bisa lebih. Jalan tol Surabaya – Porong itu sudah raib entah kemana, yang ada hanya lautan lumpur dengan asap mengepul tanpa henti. Semua kendaraan teralih secara otomatis ke jalan porong. Bis ini terseok-seok di antara kemacetan yang menjadi makanan rutin setelah tragedi itu terjadi. Segala bentuk kehidupan ekonomi, sosial, budaya masyarakat sekitar lumpur panas berubah drastis. Kemiskinan muncul tanpa di duga-duga, pengangguran datang tanpa pemberitahuan sebelumnya, ratusan orang seketika berpredikat tunawisma. Semua begitu mengerikan. Jalan yang semula mulus harus rela menjadi bulan-bulanan roda-roda kendaraan besar tanpa henti, akibatnya jalan menjadi sakit parah dan susah untuk di sembuhkan. Tiap kali disembuhkan dengan menambal bagian ini itu, jalan tetap menjadi bulan-bulanan roda-roda kendaraan besar yang seharusnya tak melewatinya. Aku ingin cepat-cepat sampai rumah, meskipun rasanya tak mungkin karena ini adalah malam minggu. Kendaraan berjejalan di satu jalan penyambung nyawa dua kota besar, Surabaya dan Malang. Bis ini tak berpendingin. Keringatku meleleh dari kedua pelipisku, leherku juga bernasib sama. Hampir semua penumpang melakukan hal yang sama, mengambil benda apa saja di tas mereka untuk sekedar di jadikan kipas pengusir panas. Matahari sudah benar-benar pulang ke peraduannya, menyisakan gelap di mana-mana. Mataku terarah pada seorang anak laki-laki, kira-kira kelas 9 SMP, yang sedang duduk di sebelah ayahnya. Ia sedang asyik main game dari hand phonenya. Ia tak memperdulikan keringat yang membasahi kerah bajunya. Sosoknya mengingatkanku pada Tegar, adikku. Betapa aku sangat mencintainya. Perjalanan ini untuk menemuinya. Semua buku yang aku bawa sekarang untuknya, adik lelakiku satu-satunya. Tak terasa air mataku menganak sungai.

***

Susah payah kami menaiki motor ayah. Badan kami sudah bertambah besar ditambah ibu yang badannya mulai melebar membuat motor ayah seperti motor mainan. Ayah bersikeras mengangkut kami semua dalam satu motor padahal ada pilihan yang lebih bijak untuk mengangkut kami dalam dua kali angkutan. Dengan sedikit menggerutu, Tegar mendapatkan bagian jok sempit di depan ayah, lebih tepatnya tangki motor. Kalaupun Tegar mendapatkan tempat yang sempit, setidaknya dia bisa menghirup udara sesukanya. Sementara ibu mendapatkan posisi paling belakang, aku harus rela dihimpit diantara badan Ibu yang besar dan punggung ayah yang lebar. Ini sunggguh menyiksa, tapi demi pergi ke pasar malam kami rela berdesak-desakan. Posisi seperti ini tak pernah berubah dari 5 tahun yang lalu.

Aku dan Tegar tak pernah melewatkan liburan di bulan Juli. Di bulan ini kami bagaikan mendapatkan surga. Surga buatan yang terhampar sebulan penuh. Surga itu berupa pasar malam. Setiap bulan Juli, rombongan pasar malam selalu datang ke kampung kami. Sebulan penuh rombongan itu menghibur kami dengan arena hiburan yang sangat mengesankan bagi kami meskipun sebenarnya arena itu tak lebih dari arena hiburan yang sangat sederhana dan cukup kuno untuk saat ini. Kami tak pernah memperdulikan arti kata kuno atau modern. Di benak kami dan anak-anak kampung kami saat itu adalah bermain. Bermain berarti menikmati arena-arena itu, menikmati manisnya Harum manis, lezatnya jagung bakar, Indahnya lampu warna-warni, menikmati degupan jantung yang cepat kala singgah di arena Tong setan dan masih banyak lagi. Sebagai seorang anak perempuan yang penakut saat itu, salah satu arena yang hampir aku tak pernah singgah adalah arena ular,dimana ular dibelai-belai bak anak sendiri. Sementara tegar sangat menimatinya.

Tidak ada yang lebih menyenangkan dari bulan Juli selain pasar malam, hiburan yang selalu aku dan Tegar nanti-nantikan meski saat ini aku lebih banyak tinggal di Surabaya. Aku melanjutkan kuliahku di Surabaya, aku bisa mendapatkan hiburan lebih dari pasar malam di sana, tapi aku lebih memilih pasar malam karena pasar malam merepresentasikan hubungan kami sekeluarga terutama aku dan Tegar. Selalu ada harum manis di pasar malam yang tak pernah kami lewati sekeluarga meskipun setelahnya ibuku akan sibuk mengingatkan kami untuk tak lupa sikat gigi setelah pulang. Aku dan Tegar tak pernah akur dalam memilih arena apa yang akan kami singgahi. Kami berdua cukup berbeda dalam soal selera, lebih tepatnya keberanian. Tegar selalu memilih arena ular, tong setan dan segala yang berbentuk mengagetkan sedangkan aku tak pernah memasukakkan arena-arena itu dalam daftar kunjunganku. Salah satu arena yang mengakurkan kami berdua adalah komidi putar. Permainan berbentuk kipas angin raksasa itu mampu membuat kami selalu bersama. Di kampung kami, kami menyebut komidi putar dengan nama Dermulen.

Kami biasanya naik komidi putar bersama-sama. Ayah dan ibuku memilih untuk naik dalam kabin tersendiri tanpa kami. Mungkin itu bentuk dari bulan madu mereka yang kesekian kalinya. Aku dan Tegar naik dalam satu kabin yang sama. Ayah tak mau naik komidi putar kali ini, dia memilih beristirahat setelah pulang kerja sore tadi. Ibu? Entah mimpi apa ibu sekarang yang tidur di sebelah penjual kacang rebus, teman masa kecilnya dulu. Akhirnya kami putuskan untuk naik kipas angin raksasa tersebut berdua saja tanpa ayah dan ibu. Kami duduk dalam satu kabin, saling berhadapan. “ mbak ojo lali yo pas dermulene munggah, tutup mata trus berhitung” Tegar bilang “ mbak jangan lupa ya kalau komidi putarnya mulai berputar, tutup mata dan mulailah berhitung”. Saat komidi putar mulai berjalan kami memulai memejamkan mata dan menghitung sampai kira-kira 60. Hitunganku dan hitungan Tegar tak pernah sama. Hitungan kamipun tak pernah akurat. Kira-kira pada hitungan ke 61 kami sudah berada di bagian atas, dan kami akan membuka mata bersama-sama. Di waktu yang hanya beberapa detik itu kami akan saling menebak letak kampung kami atau rumah siapa yang terlihat dari atas. Kami tinggal di kampung, jadi kami saling mengenal satu sama lain dan tahu rumah siapa dan letaknya dimana. Dalam beberapa detik kemudian kamipun menutup mata kami sambil kembali menunggu kabin kami mendapatkan posisi di bawah kembali. Di bawah kami akan memutuskan menebak rumah siapa yang terlihat paling terang lampunya.

Kabin yang kami tumpangi bergerak kembali ke atas. Seperti sebelumnya kami akan menutup mata dan mulai menghitung dari awal lagi. Hitungan itu tak pernah sama dari hitungan kami yang pertama.

“Gar, pasti saiki aku sing menang” sahutku pada Tegar bahwa aku lah nanti yang pasti menang.

“mbak sirahku ngelu, ora usah main tebak-tebakan dulu ya” kata Tegar “mbak kepalaku pusing, gak main tebak-tebakan dulu ya”.

“ ah gak usah alesan dek, bilang ajah takut kalah sama mbak”. Tegar tidak menjawab dan akupun tidak memperdulikan. Aku langsung berhitung dengan suara yang keras. Pada hitungan ke 52 aku mulai mengintip, itu sengaja aku lakukan agar tak kalah lagi dengan dia. Menurut peraturan yang dulu kami buat, kami baru diperbolehkan membuka mata pada hitungan ke 61 lalu menebak rumah siapa saja yang bisa kami lihat. Yang bisa menyebutkan paling banyak itulah yang menang. Pada hitungan ke 52 itu aku melihat Tegar tidak dalam posisi duduk, dia menyandarkan kepalanya pada bangku kabin sambil menutupi hidungnya. Beberapa saat kemudian aku melihat darah keluar dari hidungnya. Menetes satu-satu pada lantai kabin dan merembes ke kaos putihnya. Darah itu tampak jelas. Wajahnya tampak pucat dengan darah yang sudah menetes di sekitar mulutnya. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Air mataku mengalir tanpa diminta. Aku pindahkan kepala Tegar ke pangkuanku, blusku basah oleh darah. aku memeluk adikku itu sedekat-dekatnya. Menempelkan pipiku ke pipinya. Belakangan ini Tegar memang sering mimisan, kami tidak pernah curiga. Kami pikir itu normal-normal saja. Tegar tidak pernah mengeluhkan tentang sakitnya. Setelah pulang sekolah atau bermain, dia tak pernah tidak cerita hal yangmenarik yang ia temui. Semua diceritakan dengan antusias.

Lorong putih ini hanya membisu, aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Tegar tak pernah tidak ceria bahkan di saat-saat sakit seperti ini. Aku ingin membalas gurauannya tapi aku selalu ingin menangis bila teringat darah keluar dari hidungnya kemarin malam. Darah itu mengalir seperti air, banyak sekali. Tegar sudah tidur sejak jam 8 malam tadi. Peristiwa ini membuat Ibu menjadi pendiam meski sesekali dia bergurau. Gurauan itu hambar, tak seperti biasanya. Hanya ayah yang terlihat lebih biasa dari yang lain meskipun aku sendiri tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin sebagai kepala rumah tangga ayah harus siap bersikap normal dalam kondisi apapun karena itu dibutuhkan untuk bisa berfikir jernih dalam mencari solusi permasalahan.

***

Sudah hampir setahun ini Tegar menjalani kemoterapi. Leukimia itu merenggut tubuhnya. Ayah dan ibuku dengan sabar bolak-balik ke RSUD Saiful Anwar Malang untuk mengantarkannya menjalani kemoterapi. Tetapi Tuhan memang maha bijaksana, ketika ayah harus mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan Tegar, Ia mendapatkan promosi jabatan sebagai Direktur Bank Swasta di Malang. Sekarang ayahku sudah membeli mobil, meskipun bukan mobil baru tapi setidaknya kami tidak perlu repot menyewa mobil untuk keperluan kemoterapi Tegar. Diantara ayah dan ibuku, ayahkulah yang selalu terlihat menangis sendirian ketika menunggu Tegar di kemoterapi. Ibuku cenderung menyembunyikan kesedihannya di depan kami karena dia harus mengajari Tegar untuk selalu Tegar. Beberapa hari ini Tegar sering rewel. Itu tak seperti biasanya. Ayahku menelepon untuk segera pulang setelah UAS di kampus selesai. Katanya Tegar sangat kangen dan minta dibelikan beberapa buku untuk membunuh rasa sepinya. Dia sudah setahun ini tidak sekolah karena harus menjalani pengobatan dan terapi yang intensif. Ayahku minta aku langsung menuju RSUD Saiful Anwar karena setelah terapi sore nanti Tegar minta aku temani untuk naik Komidi Putar di pasar malam yang agak jauh dari kampung kami.

Kami bersyukur kondisi Tegar semakin membaik sejak kemoterapi. Meskipun terlihat ringkih dan kurus, tapi dia terlihat lebih baik dibandingkan sebelum kemoterapi. Dia tidak pernah melewatkan terapinya sekalipun, keinginanya untuk sembuh begitu besar. Ibu yang semula pesimis dengan keadaan Tegar kini semakin optimis. Tegar memang istimewa bagi kami. Semangatnya membuat kami selalu berfikir positif. Semangat itulah yang membuatku sekarang kuliah di kedokteran UNAIR. Semangat itu pula yang membuat ayah semakin rajin dalam pekerjaannya sehingga dia sekarang meraih jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Keistimewan itula yang membuat kami bangga.

Jam 09:00 aku sudah sampai di depan RSUD Saiful Anwar. Mobil ayah sudah menunggu disana dari jam 08:00 malam tadi. Setelah mencium tangan ayah dan ibuku aku langsung masuk ke mobil dan duduk di sebelah Tegar yang sudah memakai jaket tebal. Butuh waktu 15 menit lagi untuk sampai ke pasar malam. Tepat pukul 09:18 menit kami sudah sampai di pasar malam. Tegar langsung mengajakku ke arena komidi putar. Seperti biasanya, aku duduk satu kabin dengannya. Sementara ayah dan ibuku menunggu sambil jalan-jalan di pasar malam. Kali ini dia tidak memilih duduk di depanku, dia duduk di samping kananku. “mbak engko tutup mripat ya mbak, trus kita berhitung bareng” Tegar memintaku menutup mata trus berhitung bersama-sama. Aku tersenyum tanda setuju. Kabin mulai bergerak naik ke atas. Saatnya untuk berhitung, 1, 2, 3 ..... suasana pasar malam waktu itu begitu meriah, suara musik sangat menghentak sehingga kami harus berteriak-teriak untuk sekedar mengucapkan sesuatu termasuk hitungan kami, agar kami bisa mendengarkan hitungan satu sama lain. 30, 31, 32 .... aku tak mendengar hitungan Tegar, mungkin karena suara musik disini begitu keras. 41, 42, 43 ... kepala Tegar bersandar di pundakku. 49, 50, 51, 52 .. aku tepuk punggungnya dengan lembut dan tiba-tiba tubuh itu langsung jatuh ke pangkuanku. Aku langsung memegang keningnya, seketika itu aku langsung menangis sejadi-jadinya, tubuh itu dingin sekali seperti es. Bibirnya pucat, matanya tertutup. Telapak tangannya tak lagi menggenggam buku yang baru aku berikan padanya tadi. Aku tak kuat lagi, tangisku sesenggukan sambil menahan sesak yang ada di dadaku. Aku peluk adikku erat-erat.

“Gar jangan pergi dulu ya ... mbak kan janji akan jadi dokter hebat biar bisa ngobatin Tegar” aku guncangkan tubuh itu berulang kali. Aku tepuk pipinya beberapa kali, tapi mata mungil itu tak pernah terbuka, tak ada reaksi sama sekali. Aku dekatkan telingaku ke dadanya, sama. Tak ada detak apapun dalam tubuh itu. Sementara komidi putar ini terus saja berputar, seperti hidup kami.

Di depanku seperti ada bioskop yang memutar kenangan-kenganku dengan tegar. Tertawa dan senyum itu sudah hilang, yang tinggal hanyalah tubuh dinginnya. Di telingaku terdengar suara-suaranya. “ mbak ojo lali yo pas dermulene munggah, tutup mata trus berhitung” Tegar bilang “ mbak jangan lupa ya kalau komidi putarnya mulai berputar, tutup mata dan mulailah berhitung”. Hidup memang seperti komidi putar, kadang di atas tapi tak jarang berada di bawah. Setahun yang lalu kehidupan kami biasa saja tapi kebahagian kami luar biasa. Bukan berarti kami tidak bahagia saat ini, kami sangat bahagia hanya saja kami bingung harus bersikap seperti apa. Materi yang kami punya sekarang berlimpah, tapi haruskah kami tertawa dan terseyum ketika Tegar harus menahan sakitnya yang luar biasa. Inilah hidup, selalu ada perubahan dalam setiap serialnya dan Tegarlah yang mengajari kami untuk menerima apapun yang diberikan Tuhan pada kami, apapun yang kami dapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline