Lihat ke Halaman Asli

Televisi, Pengaruh Abnormal Terhadap Anak

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sinetron akhir – akhir ini sering menghiasi televisi kita. Hampir semua stasiun televisi berlomba untuk memproduksi sinetron. Tingkat persaingan antar stasiun televisi pun semakin ketat. Semua orang belomba - lomba menikmati serunya sinetron termasuk anak - anak. Faktor yang mendorong lakunya permintaan terhadap tayangan sinetron diantaranya adalah daya tarik cerita dan tokoh cerita yang di gemari. Jam tayang sinetron yang terlalu padat dan isi cerita yang terlalu berlebihan, mengakibat kan dampak yang buruk bagi masyarakat terutama anak-anak yang masih mengalami proses pendewasaan dalam diri mereka. Anak akan meniru karakteristik tokoh – tokoh yang terlibat dalam tayangan sinetron. Anak meniru kata-kata dalam sinetron karena senang dengan gaya tokoh yang ada dalam sinetron. Terlebih disaat zaman syarat dengan teknologi seperti saat ini, televisi tidak hanya dinikmati untuk sekeluarga, akan tetapi tiap individu-pun sudah memiliki sebuah televisi sendiri dan bebas mengakses seluruh tayangan-tayangan yang tersedia tanpa batas dan tanpa pengawasan orang tua.

Banyak acara sinetron yang beralur cerita kurang baik. Seperti kata-kata kasar, mode pakaian yang tidak sopan, serta kisah percintaan yang berlebihan. Walaupun mempunyai dampak buruk, tetapi acara sinetron masih saja tetap tayang, bahkan semakin marak di televisi. Hal ini lah yang menjadi maraknya kasus-kasus amoral yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja. Karena dalam benak mereka sudah tertanam model-model kehidupan seperti halnya dalam sinitron-sinitron yang sebagian besar krisis akan moral dan berakibat pada konsumen yang kebanyakan anak-anak atau remaja cenderung meniru adegan-adegan yang disuguhkan dalam sebuah sinetron tersebut.

Mudahnya ­­­­­kepribadian anak terpengaruh dengan tayangan-tayangan televisi tersebut menjadi masalah bagi kita semua. Terlebih apabila acara televisi banyak menampilkan tayangan dari negara luar yang notabene jauh akan nilai-nilai budaya negri kita ini. Lambat laun, efek paling mengerikan adalah hilangnya nilai-nilai moral atau identitas negara Indonesia sendiri dan akan bergeser dengan budaya-budaya dari luar. Sehingga, prediksi awam mengatakan 10-15 tahun kedepan budaya-budaya luhur indonesia akan bergeser menjadi budaya barat yang sekarang banyak digemari oleh anak ataupun remaja yang tentunya melalui tayangan televisi.

Lalu, mengapa dengan mudah masyarakat kita terpengaruh dengan budaya-budaya barat? Masalah ini bukan merupakan faktor bawaan atau herediter akan kesenangan sesaat saja dan langsung terpengaruh dengan budaya negara lain. Akan tetapi merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Proses pembentukan tidak terjadi dalam waktu singkat melainkan melalui proses interaksi secara berkesinambungan. Burns (1979) menyatakan bahwa konsep diri berkembang terus sepanjang hidup manusia, namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri mulai berjalan dalam tempo yang lebih lambat. Secara bertahap individu akan mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan individu akan mulai dapat membedakan keduanya.

Lebih lanjut Cooley (Partosuwido, 1992) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai-nilai, sikap, peran, dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara dirinya dan berbagai kelompok primer, misalnya keluarga. Hubungan tatap muka dalam kelompok primer tersebut mampu memberikan umpan balik kepada individu tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Dan dalam proses perkembangannya, konsep diri individu dipengaruhi dan sekaligus terdistorsi oleh penilaian dari orang lain (Sarason, 1972). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan individu menuju kedewasaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan asuhnya karena seseorang belajar dari lingkungannya.

Hal tersebut menjadi sangat jelas, ketika anak-anak yang notabene akan menjadi pembawa “muka” Indonesia kedepan disuguhkan dengan kemodernisasian yang dimanifestasikan dengan tayangan sinitron yang krisis akan nilai moral dan lepas dari pengawasan orangtua. Akibatnya, anak tidak tertanam identitas yang jelas tentang siapa dirinya dan seperti apa lingkungannya. Anak cenderung meniru mentah-mentah apa yang dia lihat dalam sinitron itu yang selanjutnya membentuk karakter dia. Ilustrasi singkat itu dengan jelas disimpulkan bahwa karakter atau tingkah laku anak atau remaja dapat dengan mudah dibentuk atau dipengaruhi hanya dengan menontoon televisi. Walaupun kemodernsasian kini menjadi sesuatu hal yang wajib diikuti oleh semua masyarakat, alangkah lebih bijaknya kita bisa memilih mana yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline