Lihat ke Halaman Asli

Ismail Mahmud

Ketua Ikatan Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah Periode 2019-2021

Tahun Baru dan Tahun Politik

Diperbarui: 1 Januari 2018   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pendidikan politik parlemen remaja se Indonesia 2015 dan kunjungan kerja ke daerah Bogor

Tak lama lagi akhir tahun telah usai, banyak cerita dan peristiwa yang menjadi kenangan tak terlupakan di tahun ini. Suka dan duka menjadi sejarah proses panjang tahun 2017. Hari demi hari berlalu begitu cepat yang rasanya baru kemarin perayaan tahun baru berlangsung. Kini menyambut tahun baru sebagian orang tak ingin melewatkan moment menunggu detik pergantian waktu. Berbagai kegiatan dan acara sebagai bentuk tradisi dari pergantian tahun menjadi saksi bahwa masyarakat begitu antusias menyambut tahun berganti.

Pergantian tahun yang menjadi tradisi di Indonesia seolah hal yang harus dirayakan hingga mereka tak segan-segan mengeluarkan tenaga dan materi yang cukup besar untuk menikmati indahnya pergantian tahun. Jika seperti ini terus maka substansi dari pergantian tahun bukan hanya dari aspek perayaannya tapi sebagai ajang refleksi diri atas apa yang telah dilakukan di tahun sebelumnya. Banyak kalangan yang menganggap bahwa tahun baru hanyalah perayaan semata. Padahal, pergantian tahun seharusnya menjadi ajang perbaikan kualitas diri.

Misalnya, bagi tenaga pendidik untuk menata proses pendidikan yang lebih baik, perbaikan sistem dari kebijakan birokrasi yang tidak berpihak pada kelompok banyak, perenungan bagi mereka yang masih malas untuk menjadi pribadi yang lebih baik, mempersiapkan diri bagi mahasiswa untuk betul betul mewujudkan tri darma perguruan tinggi yang bukan hanya pandai beretorik dengan rangakaian kata.

Tahun 2018 merupakan tahun yang akan sangat bermakna bagi Indonesia khsusnya untuk Sulawesi Selatan sebab pertarungan kontes lima tahunan akan dilaksanakan tahun ini (pilkada). Pemilihan gubernur Sulawesi Selatan dan pemilihan 12 daerah (3 kota dan 9 kabupaten) yang ada di Sulawesi Selatan menjadi ajang pertarungan yang sangat berarti. Berbagai strategi dan taktik telah disiapkan oleh mereka yang akan bertarung. Kendaraan, jalanan hingga penumpang pun menjadi incaran bagi setiap calon untuk memuluskan niatnya mengahadapi pilkada yang akan datang. Ibarat bermain sepakbola komposisi bertahan dan menyerang semua sudah disiapkan untuk melangsungkan pertarungan. Masyarakat akan menjadi saksi proses perpolitikan yang akan dihelat di Sulawesi Selatan.

Sebagian masyarakat hanya menganggap bahwa itu bukan sesuatu yang berarti, mereka tak memikirkan bahwa pilihan hari ini akan menentukan kemajuan daerah yang akan datang. Sangat miris ketika banyak masyarakat yang acuh terhadap hal seperti ini bahkan lebih miris lagi ketika orang-orang yang katanya kaum intelektual seolah diam melihat hal-hal yang seperti ini. Bagaimana tidak? Mereka yang katanya kaum intelektual tapi hanya sedikit yang berperan dalam percerdasan masyarakat, mereka yang mengaku agent of change hanya duduk dan diam melihat kondisi yang ada. Rakyat terus menjadi korban dari para penguasa yang memainkan peran menebar janji-janji manis yang tak berkesudahan.

Membela rakyat katanya tapi tak lepas dari kepentingan golongan tertentu, menolong rakyat katanya tapi hanya hadir disaat mereka menginginkan sesuatu dan menginginkan timbal balik. Tak salah bila Machiaveli mengatakan bahwa "demi mempertahankan kekuasaan, pertimbangan moral menjad tidak relevan, karena bagi sang penguasa ditakuti oleh segenap warga adalah hal yang paling esensial". Pantas saja bila mereka yang berkuasa adalah orang-orang yang tak pernah peduli pada kaum bawah. Tak heran pula jika Pramoedya Ananta Toer membagi atas tiga pengendalian kekuasaan yaitu

  • Memberikan kekuasaan kepada sanak saudara.
  • Memberikan kekuasaan kepada orang terdekat dan yang berjasa kepada penguasa
  • Memberikan kekuasaan kepada kelompok lain dengan syarat.

Pembagian Pramoedya Ananta Toer benar adanya dengan kondisi saat ini, mulai dari pembagian kekuasaan skala kecil hingga besar sebab hanya ini salah satu cara ampuh untuk membangun dan mempertahankan kekuasaan, Padahal masih banyak cara yang bisa dilakukan. Olehnya itu, masyarakat harus sadar bahwa menentukan pilihan dari hati nurani untuk menghasilkan pemipin yang baik harus dilakukan oleh semua elemen.

Peran semua elemen untuk menjaga dan mengawal perheletan kontes lima tahunan ini sangat dibutuhkan. Tahun baru berganti namun harapan untuk kemajuan bangsa tak pudar merindu datangnya kesatria berhati bersih. Permainan kaum kaum penguasa sudah lama tak diinginkan oleh rakyat yang tidak tahu banyak. Saatnya menjadi saksi dan memainkan peran sebagai pemilih, bukan dipermainkan sebagai target untuk dijadikan hitungan angka-angka bagi mereka yang bermain dibelakang layar. Rakyat tak butuh janji melainkan bukti, rakyat tak butuh materi melainkan rakyat butuh jalan mencari materi yang baik. Mari memilih ditahun pemilu.

Sinjai, 31 Desember 2017

Catatn akhir tahun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline