Kutelusuri trotoar siang itu. Teriknya matahari tak kuhiraukan. Uang di saku tersisa lima ribu. Map berisi berkas lamaran masih kupegang. Terlihat sudah lusuh. Aku berteduh di bawah pohon. Kusandarkan badanku melepaskan penat seharian. Masih terngiang-ngiang perkataan isteriku yang mengeluh belanja dapur, uang anak sekolah, bayar uang kontrakan, susu anak, dan lain-lain.
"Sisa uang pesangon kamu menipis, Mas ... mana cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita. Uang kontrakan bulan kemarin belum dibayar. Anak-anak kita mau makan apa? Coba usaha dong Mas, cari kerja ...," ujar istriku. Aku hanya bisa bilang belum ada lowongan kerja kepada isteriku. Wajahnya kembali muram.
Suara ambulans terdengar di kejauhan menuju kerumunan orang yang sedang mengelilingi seorang laki-laki yang terkapar tak berdaya. Wajahnya biru lebam, kepalanya penuh darah, dan bajunya terkoyak. Rupanya seorang penjambret baru saja dihakimi massa, karena telah menjabret tas seorang wanita. Ketika petugas rumah sakit mengangkat lelaki naas tersebut ke dalam ambulans, ditangannya masih tergenggam map lusuh yang sudah ternoda darah segar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H