Madura, sebagai salah satu wilayah dengan dinamika politik yang khas di Indonesia, seringkali menjadi sorotan dalam setiap kontestasi pemilu, termasuk dalam ajang kontestasi politik mendatang ini.
Dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang mencapai lebih dari 3 juta jiwa, politik di Madura tidak hanya mencerminkan preferensi elektoral masyarakat, tetapi juga menyingkap adanya praktik-praktik terselubung seperti "mafia politik".
Pada artikel ini penulis mencoba membahas fenomena mafia politik di Madura sebagai hilal politik 2024, buramnya sistem pemilihan di sana, serta dampaknya terhadap kualitas demokrasi.
Sebagaimana kita ketahui bersama perhelatan politik Jawa Timur 2024 akan menjadi ajang penting dalam menentukan arah kepemimpinan di Jawa Timur. Madura sebagai salah satu pulau dengan populasi signifikan, Madura memiliki lebih dari 3 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT), menjadikannya salah satu wilayah dengan potensi suara yang besar.
Namun, proses pemilihan di Madura tidak dapat dipisahkan dari praktik-praktik politik transaksional, manipulasi suara, dan pengaruh kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang kerap disebut sebagai mafia politik.
Dalam konteks kontestasi Politik, mafia politik di Madura sering kali digambarkan sebagai hilal politik—fenomena yang menjadi penanda awal dari dinamika kontestasi elektoral. Dengan basis sosial yang kuat, para aktor politik di Madura sering memanfaatkan jaringan patronase dan oligarki lokal untuk mengontrol hasil pemilihan.
Madura dikenal memiliki tradisi politik yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Pengaruh kyai dan elit tradisional sangat kuat dalam membentuk preferensi politik masyarakat.
Fenomena ini diperkuat dengan adanya mafia politik yang bekerja di bawah permukaan untuk memastikan kandidat tertentu menang melalui cara-cara yang tidak selalu sesuai dengan prinsip demokrasi yang sehat.
Terlepas dari benar atau tidaknya tapi beberapa pendapat penulis dibawah ini bisa kita jadikan sebagai bagian dari analisis bersama bahwa mafia politik di Madura sering kali bekerja melalui beberapa mekanisme diantaranya:
1. Pembelian Suara (Vote Buying): Ini merupakan praktik yang sudah umum di Madura, terutama menjelang pemilu. Kandidat yang memiliki akses ke sumber daya finansial sering kali menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih.
2. Mobilisasi Massa : Aktor-aktor politik lokal, seperti kyai atau tokoh masyarakat, dapat dengan mudah memobilisasi massa untuk mendukung kandidat tertentu, baik melalui ajakan langsung maupun tekanan sosial.